Senin, 16 September 2013
Sabtu, 14 September 2013
Dua Cara Memahami Kematian : Pada Peringatan Tertidurnya Bunda Maria
Oleh : Yang Tersaleh Patriarkh Kirilios
Atas nama Sang Bapa, Sang Putra, serta Sang Roh KudusHari ini kita menandai salah satu dari Dua Belas Pesta Perayaan Besar, yaitu Tertidurnya Sang Theotokos yang tersuci. Kita merayakan pesta ini di Gereja basis kita: Katedral Patriarkhat dari Tertidurnya Bunda Maria di Kremlin Moskow. Bersama dengan seluruh Gereja, kita bersukacita dalam sebuah acara yang telah diwariskan kepada kita oleh Tradisi Suci Gereja Universal: ketenangan jiwa Sang Theotokos yang tersuci, tertidurnya, yang telah menjadi hari peringatan bagi kita.
Jika kita membawa pandangan kita dari perayaan ini dalam kehidupan modern saat ini, kita akan melihat kontradiksi mendalam antara dua pemahaman tentang kematian. Peristirahatan yang terberkati, "Dormition", tertidur, - kata "mati" tidak digunakan dalam referensi untuk Theotokos. Kebetulan, kata lain digunakan dalam bahasa gerejawi berasal dari sini: "beristirahat" - tidak mati atau binasa, tetapi beristirahat. Kami melihat bahwa ada pemahaman yang berbeda tentang kematian. Di satu sisi, ada pemahaman terhubung dengan kemenangan Sang Theotokos, di sisi lain, pemahaman kita saat ini bahwa kematian sebagai suatu akhir yang tragis, karena berhentilah segala sesuatunya. Seseorang merasa suatu ketakutan liar, rasa takut akan kematian, berhadapan dengan akhir yang tragis. Bagaimana kesangat-takutan akan kematian ini bertentangan dengan pertimbangan nilai dasar masyarakat modern, masyarakat konsumerisme dan kemakmuran! Masyarakat yang sangat besar ini , dijiwai dengan nilai-nilai palsu, mengkonsumsi segala sesuatu tanpa batas dan mengutamakan kesenangan - walaupun dengan kenyataan adanya kematian.
Tapi bagaimana masyarakat saat ini, pseudo-budaya zaman ini, menjawab kontradiksi ini? Pandangan dunia menjawab tantangan ini, yaitu dengan cara mengabaikan kematian. Sebuah gambaran yang berbeda dari kehidupan diambil bagi kita melalui iklan dan budidaya nilai-nilai palsu yang sama yang mengubah pandangan kita jauh dari kematian. Jika kita berbicara tentang praktek penguburan, kita dapat mencatat bahwa di banyak negara - terutama di negara yang makmur - semua prosesinya dilakukan dalam upaya untuk mengurangi kontak manusia yang hidup dengan si mayat yang mati. Peti mati itu tidak dibuka selama upacara pemakaman - pada kenyataannya, umumnya tidak dibuka sama sekali - dan orang-orang selalu mengucapkan selamat tinggal sebelum peti mati tertutup. Bahkan acap kali, peti mati diturunkan ke dalam kuburan ketika orang sudah meninggalkan pemakaman. Untuk alasan ini, peti ditutupi dengan bunga atau cabang pohon cemara sedemikian rupa agar tindakan penguburan tak terlihat. Kebiasaan luas kremasi juga melayani tujuan ini: peti mati berlalu, dan tidak ada kontak nyata saat pemakaman.
Tapi ada cara lain untuk mengurangi konflik batin ini, dapat diatasi dengan pandangan palsu masyarakat mengenai kematian: mengubah kematian menjadi sebuah pertunjukan, menjadi tontonan. Kita melihat sejumlah besar kematian setiap hari: di televisi dan banyak film, di mana kematian selalu hadir dalam satu atau lain cara. Tapi apakah kita berempati dengan kematian ini? Kematian hanya bagian dari intrik, acap kali, kematian - dikaitkan dengan kekerasan - terikat dengan kemenangan jagoan utama. Namun, tidak ada upaya-upaya untuk menghilangkan pertanyaan kematian dari lingkup pandangan dunia manusia modern itu, karena setiap hari, setiap jam, setiap menit membawa masing-masing dari kita lebih dekat dengan kematian. Inti terletak pada bagaimana kita memandang kematian: sebagai ujung dari hidup yang masuk akal, tanpa makna apapun, sebagai keberangkatan menjadi pelengkap non-eksistensi dari segala sesuatu yang kita miliki - pikiran, emosi, dan kehendak, sebagai kepunahan dari semua kehidupan, dengan semua kegembiraan nya, duka, pasang dan surut, penemuan, kemenangan, dan kekalahan, atau sebagai akord akhir, final kehidupan duniawi kita dan transisi ke kehidupan yang lain ...
Tertidurnya Sang Theotokos tersuci adalah kemenangan Gereja: Rasul berkumpul, menempatkan makam Bunda Allah di Getsemani, dan tidak pernah lagi menemukannya kembali, karena tubuh Sang Bunda menghilang. Sebuah tradisi yang kuat dari Gereja telah diwariskan kepada kita mengabarkan bahwa tubuh Sang Bunda Allah diangkat menuju kerajaan Allah. Beberapa Para Bapa Gereja mula-mula yang kudus dari Gereja Rusia - di antaranya St. Ignatius (Brianchaninov) menyatakan bahwa yang harus terutama diingat - membandingkan kedua misteri Tertidurnya Sang Bunda yang tersuci dengan kebangkitan Juruselamat adalah bahwa kematian itu tidak ada lagi: yang ada adalah tertidur dan suatu keberangkatan.
Berkaca pada tema keberangkatan, St. Yohanes Krondstadt mengatakan keberangkatan itu hanya perubahan tempat: orang "berangkat" dan jiwanya menempati tempat di dunia lain, masa yang lain, waktu yang lain. Apakah Bunda Allah takut mati? Tidak. Apakah Sang Rasul Kudus takut mati dalam menghadapi kekerasan kematian Syahid? Rasul Petrus tidak, awalnya ia takut penganiayaan yang pecah di bawah Kaisar Nero, ia memutuskan untuk meninggalkan ibukota Kekaisaran atas desakan masyarakat Kristen di Roma. Tapi sementara meninggalkan Roma, Tuhan yang telah bangkit menemuinya dan bertanya? Mau pergi kemana lagikah kamu? Pertanyaan ini sendiri menyebabkan Petrus kembali ke Roma dan dengan sukacita untuk menerima kematian syahidnya. Dan berapa banyak kesaksian yang kita miliki dalam kehidupan orang-orang kudus! Kita melihat dengan jelas bahwa mereka tidak mengalami ketakutan akan kematian, tapi mempersiapkan diri untuk kematian sebagai suatu perayaan yang benar-benar agung dalam hidup mereka, yang dengannya seseorang melewati suatu keberadaan duniawi menuju keberadaan yang surgawi.
Jadi, dari mana rasa takut akan kematian berasal? Bercermin pada tema ini, St. Yohanes Krondstadt menyatakan bahwa Tuhan tidak menciptakan kematian, tapi kematian telah datang ke dalam kehidupan manusia karena dosa. Dia melanjutkan dengan menulis: "Kematian akan menakut-nakuti kita selama kita tinggal di dalam dosa." Ini disebabkan adanya hubungan yang nyata antara ketakutan akan kematian dan dosa. Jika seseorang hidup sesuai dengan hukum daging, jika ia berbuat dosa dan tidak pernah berpikir tentang Allah, maka ketika orang ini tidak siap secara rohani - yang tinggal pada kesombongan dunia ini dan yang hidupnya hanya terikat oleh nilai-nilai dari dunia ini - bertatap muka dengan kematian, akan ada ketakutan dan teror. Akan ada ketakutan fana, karena kehadiran dosa. St Yohanes Krisostomos mengajarkan bagaimana cara kita mengatasi ketakutan kematian ini: yaitu melalui pertobatan, doa, kemenangan di atas hawa nafsu, bekerja, bersabar, dan berdamai secara spiritual - yaitu, hidup menurut perintah-perintah Allah.
Melalui hari raya Tertidurnya Theotokos yang tersuci dan Teladan Gereja, kebenaran terungkap kepada kita bahwa cara hidup religius, cara hidup orang Kristen, tidak hanya merupakan dispensasi, berkat, dan kebahagiaan dalam kehidupan duniawi , itu bukan hanya akuisisi tujuan otentik, tetapi juga mengatasi rasa takut dan kekhawatiran dari kematian dengan suatu keadaan rohani tenang dan damai, karena kematian adalah penyelesaian kodrati dari bagian duniawi kehidupan manusia. Sebagaimana pandangan mengenai kehidupan, kematian juga memiliki kekuatan besar untuk manusia, tidak ada hambatan dan sama sekali tidak menakutkan.
Demikianlah sikap terhadap hidup dan mati bahwa perjuangan sejati, keberanian, dan kemampuan untuk memberikan kehidupan seseorang untuk sesama didasarkan. Apakah seseorang akan memberikan hidupnya untuk orang lain jika terikat dengan kehidupan konsumtif modern, dimana nilai utama adalah di sini dan hanya di sini? Kenapa dia akan mengambil risiko? Kenapa dia akan memberikan hidupnya untuk orang lain? Kenapa dia akan mengorbankan apa yang paling berharga? Dalam kerangka pandangan dunia yang murtad, adalah mustahil untuk membenarkan kepahlawanan, perjuangan, atau pengorbanan diri. Jika orang-orang yang tidak menganggap diri mereka religius namun melakukan perjuangan tersebut, hal ini tidak berarti bahwa motivasi mereka terletak pada bidang material. Ini adalah manifestasi dari laten, religiusitas dasar, yang menjadi bagian dari kehidupan manusia melalui satu asuhan, melalui nilai-nilai yang ditanamkan dalam diri seseorang. Tetapi jika kita menghancurkan religiusitas sebagai dasar, maka kita akan menjadi masyarakat yang sama sekali berbeda, orang-orang yang sama sekali berbeda, tidak mampu baik berkorban atau berjuang. Masyarakat seperti itu tidak dan tidak dapat memiliki masa depan, karena asuhan orang dalam iman adalah masalah hidup atau mati - tidak hanya dari masyarakat, tapi bahkan umat manusia. Inilah sebabnya mengapa pemberitaan nilai-nilai spiritual agung yang telah diwahyukan kepada manusia melalui Firman Ilahi adalah fondasi utama berdirinya masa depan umat manusia.
Mengingat Ibu kita yang tersuci Sang Theotokos dan yang selalu Perawan Maria dan tertidur-mulianya, mari kita selalu ingat bahwa tertidurnya, wafatnya Sang Theotokos, adalah peringatan besar bagi Gereja. Dan dalam pemuliaan wafatnya Sang Theotokos tersuci, kita letakkan iman yang besar dari semua generasi sebelumnya bahwa kematian tidaklah berarti suatu akhir dari kehidupan. Ini sebagai tanda besar, fakta bahwa setelah kematian datang kebangkitan, Sang Ratu yang termurni diangkat ke tempat tinggal surgawi Putranya dengan jiwa dan tubuhnya, sebagai tanda keabadian manusia, sebagai tanda hidup yang kekal, dan sebagai tanda kemahakuasaan Ilahi. Amin.
Alih bahasa : Rm. Dcn. Damaskinos Arya
Sabtu, 07 September 2013
Pada Pertanyaan Seputar Pembaptisan Bayi
Oleh : Rm. Dcn. Damaskinos Arya
Komunitas Baptis dan Pentakosta mengatakan bahwa baptisan bayi itu tidaklah alkitabiah. Apakah kita dapat menemukan pembaptisan bayi di dalam Alkitab? Saya mendengar seseorang mengatakan bahwa praktek ini dimulai sekitar tahun 200-an. Di mana saya dapat menemukan ajaran awal tentang baptisan bayi? Apa Gereja Orthodox mengajarkan tentang hal ini? Bagaimana bayi bisa "dilahirkan kembali" tanpa imannya secara pribadi sebelum dia mendengarkan Injil dikhotbahkan? Atau apa gunanya baptisan bayi? Apa perbedaan yang ada antara Babtisan Katolik Roma, Lutheran dan babtisan bayi pada Gereja Orthodox?
Jawaban :
Anda bertanya beberapa pertanyaan yang sangat baik tentang alasan untuk baptisan bayi. Saya akan mencoba untuk menjawab setiap pertanyaan Anda di bawah ini tapi sebelum saya melakukannya saya harus mendiskusikan peran Kitab Suci dalam berbagai tradisi Kristiani.
Untuk Kaum Protestan, Alkitab adalah sumber yang paling utama dalam bertheologi. Hal ini muncul dari doktrin sola scriptura (Hanya yang tertulis saja/hanya Alkitab saja). Tapi apa yang dilakukan ketika maksud dari teks Alkitab itu tidak jelas sedangkan Alkitab itu sendiri diam? Protestan menanggapi ambiguitas ini dalam beberapa cara:
(1) beberapa akan berpendapat bahwa segala praktek yang tidak alkitabiah adalah praktek yang dilarang;
(2) beberapa akan berpendapat bahwa ini adalah masalah subjek kebebasan pendapat pribadi atau hati nurani yang membaca atau dengan kata lain menafsirkan kitab suci dengan pemikiran mereka sendiri, dan
(3) beberapa akan mencoba untuk mengandalkan preseden sejarah untuk membimbing mereka.
Inilah pendapat-pendapat berbeda dalam kalangan Protestan sendiri, bahkan bertentangan, demikian pula posisi Protestan berpegang pada praktek baptisan, termasuk baptisan bayi, juga memiliki bermacam-macam pendapat dan saling bertentangan.
Dasar pengajaran Orthodoxi yaitu praktek pada Paradosis Rasuliah yang dikenal dengan Tradisi Suci, kombinasi dari tradisi lisan dan tradisi tulis (II Tesalonika 2:15). Gereja Orthodox juga bersandar pada janji Kristus bahwa Roh Kudus akan membimbing Gereja ke dalam seluruh kebenaran (Yohanes 16:13). Dengan demikian, sehubungan dengan pendekatan Orthodoxi untuk baptisan bayi kita menemukan praktek Gereja purba diterima secara luas dari waktu ke waktu secara resmi diakui oleh Konsili Ekumenis.
Berbeda dengan pendekatan konsili pada Gereja Orthodox menyangkut otoritas Gerejawi, Katolik Roma tetap berpegang pada pengertian monarki otoritas gereja. Memandang Paus sebagai yang memiliki otoritas tertinggi dalam hal iman dan prakteknya. Dengan demikian, mengenai hal-hal di mana Alkitab itu diam maka Paus yang berbicara. Pandangan ini berasal dari pemahaman bahwa Paus adalah penerus Rasul Petrus dan dengan demikian memiliki otoritas tertinggi untuk menafsirkan Kitab Suci dan menentukan Tradisi. Pemahaman monarki dari Uskup Roma muncul pada Abad Pertengahan. Orthodoxi menolak ini melihat bahwa pada Gereja awal otoritas tertinggi itu terletak pada Konsili Kudus. Inilah yang menjadi akar permasalahan Skisma Besar tahun 1054 yang mengakibatkan Gereja Roma terpisah dengan caranya sendiri dari 4 Kepausan / Kepatriarkhan utama pengganti para rasul dalam Gereja Purba yang masih dalam kesatuan hingga hari ini. Hal ini mulai melahirkan banyak ajaran inovatif dan prakti-praktik yang menimbulkan banyak keberatan bahkan di dalam kalangan Gereja Latin itu sendiri. Hal ini mengakibatkan Reformasi Protestan. Dalam rangka untuk melawan otoritas Paus, Luther dan para reformator lainnya mengeluarkan pendapat bahwa otoritas Alkitab adalah otoritas tertinggi. Inilah sejarah yang menyebabkan sola scriptura sebagai prinsip dasar untuk Protestan.
Dengan metode teologis baru sola scriptura, Tradisi - tradisi lisan para rasul dan para bapa Gereja purba, serta Konsili Ekumenis / Musyawarah seluruh Gereja yang diteladankan para rasul sebagai keputusan Allah yaitu keputusan Roh Kudus itu sendiri (Kis 15 : 28) - mengambil posisi di bawah Kitab Suci. Gereja Orthodox menolak pendapat Protestan ini, Gereja Orthodox memandang tradisi tertulis dan lisan bagaikan dua sisi mata uang yang sederajat, satu dan tidak terpisahkan karena demikianlah para rasul menyatakannya (II Tesalonika 2:15). Memahami perbedaan-perbedaan ini akan membantu Anda memahami bagaimana mengumpulkan jawaban yang akan dikemukakan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Dalam menjawab pertanyaan ini, saya berusaha untuk menunjukkan bagaimana Gereja Orthodox pada intinya alkitabiah dalam ajaran dan prakteknya konsisten dengan Gereja Awal yang didirikan oleh para Rasul.
1. Apakah kita menemukan pembaptisan bayi di dalam Alkitab?
Banyak orang yang bertanya tentang hal ini. Jika Anda mengajukan pertanyaan dengan cara yang salah, Anda sangat mungkin untuk mendapatkan jawaban yang salah. Jika kita mengambil pertanyaan Anda tentang bayi sebagai titik awal, kita dapat memperpanjang untuk dewasa, remaja dan orang tua juga. Sama seperti tidak ada ajaran dalam Alkitab untuk mendukung baptisan bayi demikian pula tidak ada ajaran dalam Alkitab untuk mendukung babtisan remaja atau bahkan babtisan dewasa.
Cara yang lebih baik untuk membingkai pertanyaannya adalah bertanya: Apa yang Alkitab ajarkan tentang inisiasi perjanjian? Kita menemukan seluruh perjanjian yang diberikan Allah dalam Alkitab dan orang-orang yang masuk ke dalam suatu hubungan perjanjian ini mengikatnya dengan cara tindakan atau ritual tertentu. Dalam Kejadian 17 Allah mengajak Abram untuk masuk ke dalam perjanjian-Nya melalui sunat. Bagaimanakah rentang usia mereka yang disunat dalam Kejadian 17? Mereka itu adalah seorang anak yang baru lahir berumur delapan hari (Kejadian 17:12), seorang remaja (Ismail berusia 13 tahun pada waktu itu, lihat Kejadian 16:16), dan juga untuk mereka yang dewasa (Abraham adalah 99 tahun pada waktu; lihat Kejadian 17:1).
Ketika kita melihat Khotbah Pentakosta Petrus, kita menemukan beberapa ajaran menarik tentang inisiasi perjanjian. Pada puncak dari khotbah, Petrus memberikan nasehat:
Repent and be baptized, every one of you, in the name of Jesus Christ for the forgiveness of your sins. And you will receive the gift of the Holy Spirit. The promise is for you and your children and for all who are far off—for all whom the Lord our God will call. (Acts 2:38-39: NIV, emphasis added)
Jawab Petrus kepada mereka: "Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus. Sebab perjanjian itu adalah bagi kamu dan bagi keturunanmu dan bagi orang yang masih jauh, yaitu sebanyak yang akan dipanggil oleh Tuhan Allah kita." (Kis 2 : 38 - 39)
Ungkapan "You and your children" "bagi kamu dan bagi keturunanmu" menyiratkan tentang para pendengar dewasa dan semua keturunan mereka. Kata Yunani untuk "keturunan" (τεκνος, teknos) dapat mencakup keseluruhan keturunan baik yang masih bayi, anak-anak, remaja, bahkan dewasa. Jika kita melihat kutipan pembuka dari khotbah Petrus itu yang diambil dari Firman Allah melalui nabi Yoel yaitu dalam Kisah Para Rasul 2:17, Petrus menggambarkan mereka yang menerima Roh Kudus secara luas, tidak terbatas. Perhatikan bahasa yang digunakan:
And it shall come to pass in the last days, saith God, I will pour out of my Spirit upon all flesh: and your sons and your daughters shall prophesy, and your young men shall see visions, and your old men shall dream dreams: (Acts 2 : 17, KJV)
Akan terjadi pada hari-hari terakhir--demikianlah firman Allah--bahwa Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia; maka anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat, dan anak-anakmu yang masih muda akan mendapat penglihatan-penglihatan, dan orang-orangmu yang tua akan mendapat mimpi. (Kis 2 : 17)
anak-anakmu laki-laki dan perempuan, anak-anakmu yang masih muda dan orang tua, artinya ketiga tahapan hidup manusia yaitu kanak-kanak, remaja (teruna), dan dewasa ketiganya dianugrahkan untuk masuk dalam perjanjian ini. Dalam baptisan air Pentakosta khotbah Petrus berhubungan erat dengan baptisan Roh. Gereja Orthodox mempertahankan hubungan ini dengan pemberian Sakramen Krisma (Pencurahan Roh Kudus) segera setelah baptisan.
Hal lain yang kita perlu mempertimbangkan adalah fakta bahwa Alkitab mengajarkan keselamatan keluarga. Lukas dalam laporannya tentang konversi dari kepala penjara Filipi menulis:
At that hour of the night the jailer took them and washed their wounds; then immediately he and all his family were baptized. The jailer brought them into his house and set a meal before them; he was filled with joy because he had come to believe in God—he and his whole family. (Acts 16:33-34; NIV, emphasis added)
Pada jam itu juga kepala penjara itu membawa mereka dan membasuh bilur mereka. Seketika itu juga ia dan keluarganya memberi diri dibaptis. Lalu ia membawa mereka ke rumahnya dan menghidangkan makanan kepada mereka. Dan ia sangat bergembira, bahwa ia dan seluruh keluarganya telah menjadi percaya kepada Allah. (Kis 16 : 33 - 34)
Ungkapan "seluruh keluarganya" bermakna bahkan hingga anak-anak kecil dan bayi. Penekanan pada unit keluarga ini sejajar saat Paskah pertama ketika orang Israel berkumpul di rumah untuk merayakan perjamuan Paskah (Keluaran 12). Darah anak domba dikorbankan itu dioleskan di atas pintu rumah, bukan pada individu. Ini kontras dengan pola pikir modern yang mengangkat individualitas di atas keluarga.
Baptisan adalah sunat baru. Sama seperti sunat yaitu ritual inisiasi untuk mengikatkan diri dalam perjanjian lama, sehingga juga baptisan adalah ritus inisiasi untuk mengikatkan diri dalam perjanjian baru yang didirikan oleh Kristus di kayu Salib.
In him you were also circumcised, in the putting off of the sinful nature, not with a circumcision done by the hands of men but with the circumcision done by Christ, having been buried with him in baptism and raised with him through your faith in the power of God, who raised him from the dead. (Colossians 2:11-12; NIV)
Dalam Dia kamu telah disunat, bukan dengan sunat yang dilakukan oleh manusia, tetapi dengan sunat Kristus, yang terdiri dari penanggalan akan tubuh yang berdosa, karena dengan Dia kamu dikuburkan dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa Allah, yang telah membangkitkan Dia dari orang mati. (Kolose 2 : 11 – 12)
Gereja Orthodox tidak melihat sakramen baptisan sebagai sihir. Sebaliknya, memahami baptisan membuat kita semua mengambil bagian dari keluarga Allah. Ini adalah tanggung jawab orang tua dan wali baptis untuk memastikan anak yang dibaptis belajar tentang Kristus dan cara hidup orang Kristiani.
and how from infancy you have known the Holy Scriptures, which are able to make you wise for salvation through faith in Christ Jesus. (II Tim 3 : 15, NIV)
Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus. (II Tim 3 : 15)
Dalam kutipan II 3 : 15 di atas kita belajar bahwa Timotius telah dapat beriman dan mengikatkan diri pada perjanjian kitab suci yaitu keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus pada usia yang sangat dini, yaitu apa yang dikatakan dengan istilah “infancy” dalam bahasa inggris atau jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia dari masa bayi atau kanak-kanak. Sebagai anak yang bertumbuh ia akan mulai membuat keputusan mereka sendiri dan mengembangkan iman pribadi yang hidup di dalam Kristus. Pengaruh kuat lingkungan yang penuh kasih dan penuh iman baik di rumah dan gereja akan dimiliki seorang anak. Salah satu ancaman terbesar bagi model ini pemuridan adalah nominalisme ceroboh di mana orang melaksanakan rutinitas gereja karena itu adalah bagian dari warisan etnis mereka dan tidak mau serta tidak mampu memberikan respon yang baik untuk para pemuda yang mengajukan pertanyaan tentang doktrin dan praktik Gereja .
2. Di mana saya dapat menemukan ajaran awal tentang baptisan bayi?
Hal yang perlu diingat adalah bahwa gereja mula-mula memperbolehkan adanya baptisan bayi. Itu adalah praktik umum di kalangan orang-orang Kristiani dan sangat sedikit yang memprotes menentangnya. Baptisan bayi menjadi standar praktek untuk mengkonversi kelompok atau seluruh rakyat. Ketika seorang penguasa bertobat, ia akan diikuti oleh para pendukungnya dan seluruh keluarga mereka. Hal ini juga penting untuk diingat bahwa mengingat tingkat kematian yang tinggi pada saat itu banyak orang tua akan berusaha untuk membaptis anak-anak mereka terutama jika kematian sudah dekat.
Sebuah gambaran sikap gereja mula-mula terhadap baptisan bayi dapat ditemukan di Jaroslav Pelikan’s The Emergence of the Christian Tradition (100-600), (pp. 290-292). Penyebutan awal dari baptisan bayi adalah oleh Tertullian (c. 160-220) yang menyatakan sikap skeptis tentang praktik membaptis bayi. Teolog Aleksandria terkenal, Origen (185-254), mengaku baptisan bayi menjadi bagian dari tradisi gereja Rasul bahkan ia berjuang untuk mengartikulasikan alasan yang jelas untuk prakteknya. Pada pendapat bapa Gereja Siprianus(c. 200-258) kita menemukan baptisan bayi dibela atas alasan dosa asal. Dari tiga sumber yang disebutkan di sini hanya Siprianus yang dianggap sebagai seorang bapa Gereja.
J.N.D. Kelly dalam pengajarannya mengenai Kristen awal mencatat sakramen baptisan, Krisma, dan Ekaristi secara universal dipraktekkan dalam Gereja awal ini dibuktikan dengan adanya sedikit bukti tentang sakramental sistematis pada saat abad keempat dan kelima (hal. 422 ff.) . Hal ini menunjuk kepada kita mengenai sakramen dan teologi Liturgi dalam Gereja Awal.
Bukti jelas bahwa penyebutan pertama dari baptisan bayi terjadi sekitar tahun 200 yang berarti bahwa asal-usulnya dapat ditempatkan lebih awal dari tahun 200. Mengingat kesaksian Origenes bahwa baptisan bayi memiliki akar apostolik dan tidak adanya bukti yang bertentangan, kita dapat mengasumsikan bahwa baptisan bayi sudah ada sejak masa-masa awal Gereja, bahkan masa-masa Rasuliah. Mengingat akar Yahudi dalam Kristen dan praktek mapan sunat bayi di antara orang-orang Yahudi, maka seharusnya bukanlah suatu lompatan besar untuk baptisan bayi di antara orang-orang Kristen.
3. Apa Gereja Orthodox mengajarkan tentang hal ini?
Orthodox menerima baptisan bayi sebagai praktek purba, ini telah dikemukan oleh Dewan Eukumenis Orthodox yang adalah otoritas penting bagi iman dan prakteknya. Kami menemukan di Kanon 84 Dewan Quinisext (692) petunjuk tentang cara untuk menangani orang-orang yang mengaku telah dibaptis sebagai bayi, tetapi tidak dapat memberikan saksi untuk mendukung klaim baptisan mereka.
Van Espen dalam komentarnya pada Kanon 13 dari Konsili Nicea (325) mencatat "bahwa setelah pembaptisan dan penguatan (Krisma), Ekaristi diberikan bahkan untuk bayi." Penerimaan implisit baptisan anak oleh dewan gereja poin utama untuk baptisan bayi menjadi diterima secara luas praktek di kalangan orang Kristen.
Dari sudut pandang sejarah gereja baptisan bayi adalah praktek kuno diterima oleh Gereja Orthodox Timur, Katolik Roma, dan Gereja Ortodoks Oriental, bahkan diterima oleh gereja-gereja Protestan arus utama: Lutheran, Reformed, dan Anglikan. Namun hal itu ditolak oleh Anabaptis radikal kemudian yaitu Komunitas Baptis, dan penolakan ini pada waktu itu menjadi populer di kalangan Protestan, terutama Evangelis (Injili) dan Pentakosta. Dengan demikian, posisi penolakan baptisan bayi merupakan hal baru secara doktrinal yang berasal dari tahun 1500-an.
4. Bagaimana bayi bisa "dilahirkan kembali" tanpa iman pribadi sebelum dia telah mendengar Injil dikhotbahkan? Atau apa gunanya baptisan bayi?
Pertanyaan ini mendefinisikan iman yang sempit dalam Kristus, hal penerimaan intelektual ajaran tertentu pada siapakah Allah (Tuhan adalah Pengasih dan hanya), apakah itu sifat manusia (berdosa dan jatuh), apa yang Kristus telah lakukan bagi kita (mati di kayu Salib untuk dosa-dosa kita), dan respon yang diharapkan (mengatakan "doa orang berdosa" untuk menerima Kristus ke dalam hati). Pemahaman intelektual iman telah mengakibatkan cabang tertentu Protestan berdebat di antara mereka sendiri tentang "usia pertanggungjawaban."
Kaum Evangelis (Injili) telah memproyeksikan emosionalisme subyektif mereka ke dalam frase "dilahirkan kembali/lahir baru." Menjadi "dilahirkan kembali" bukanlah pengalaman emosional karena merupakan kehidupan baru di dalam Kristus. Setelah kita menjalani hidup terpisah dari Kristus, tapi sekarang kita menaruh iman kita di dalam Kristus dan berada di bawah kekuasaannya melalui baptisan. Dalam Kejadian 17 ketika Abram menandatangani perjanjian dengan Yehuwah melalui sunat, ia mengambil nama baru "Abraham" yang menandakan kehidupan barunya sebagai pengikut Yehuwah. Kejadian 17 adalah tentang perubahan dalam hubungan dengan Allah, dan hal itu bukanlah tentang Abram memiliki pengalaman emosional "dilahirkan kembali".
Justru jika kita melihat apa yang Alkitab katakan tentang kemampuan rohani bayi atau kanak-kanak jawabannya mungkin mengejutkan kita. Rasul Lukas melaporkan bahwa ketika Perawan Maria masuk ke rumah Elizabeth dan menyapanya, bayi di dalam rahim Elizabeth "melompat kegirangan" (Lukas 1:41, 44).Yohanes Pembaptis dalam pra-kelahirannya (masih dalam kandungan) dapat merespon kehadiran Sang Logos / Sang Firman yang Menjelma untuk kita, merespon kehendak Allah dalam inti primordial dari keberadaan kita. Seorang bayi mungkin tidak memiliki kecerdasan yang sepenuhnya dikembangkan, tetapi memiliki kemampuan untuk menanggapi cinta. Hal ini karena kemampuan untuk mencintai dan merespon dalam kasih merupakan dasar kemanusiaan kita. Iman sebagai kemampuan untuk mempercayai seseorang sangat penting untuk kita mampu mencintai orang lain. Itulah mengapa pengkhianatan iman merusak kemampuan kita untuk mencintai orang lain. Pendekatan relasional iman dapat dilihat pada Liturgi Ilahi Minggu Orthodoxi yang berduka atas pengkhianatan Yudas kepada Kristus. Ini adalah sesuatu yang tidak didapatkan sebagai seorang Protestan.
Tapi apa sikap Yesus tentang kemampuan rohani anak-anak? Insiden berkat Yesus kepada anak-anak kecil muncul dalam ketiga Injil sinoptik. Dimana Matius dan Markus menggunakan istilah umum untuk anak-anak παιδιον (paidion), Lukas menggunakan istilah yang lebih tepat βρεφος (brephos) yang bisa berarti bayi dan baru lahir, dan bahkan anak-anak yang belum lahir.
But Jesus called the children to him and said, “Let the little children come to me, and do not hinder them, for the kingdom of God belongs to such as these. I tell you the truth, anyone who will not receive the kingdom of God like a little child will never enter it.” (Luke 18:16; NIV)
Tetapi Yesus memanggil mereka dan berkata: "Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku, dan jangan kamu menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah. (Lukas 18 : 16)
Kejadian ini mengandung pelajaran yang kuat tentang aksesibilitas Kerajaan Allah yaitu bagi mereka yang memiliki hati yang terbuka seperti anak kecil. Yesus tidak mengajarkan bahwa anak-anak harus menunggu sampai mereka cukup umur untuk memahami sebelum mereka dapat masuk ke dalam perjanjian-Nya yaitu Kerajaan Allah. Ungkapan "masuk ke dalam Kerajaan Allah" adalah sinonim untuk memasuki hubungan perjanjian dengan Kristus. Frase ini tertanam dalam percakapan malam Yesus dengan Nikodemus (lihat Yohanes 3:5). Jika dibaca dalam konteks yang menyeluruh dari seluruh pasal mengenai Nikodemus yang bercakap-cakap dengan Yesus di bagian pertama Yohanes 3, Pesan di balik kebutuhan untuk "dilahirkan kembali" itu bukanlah tentang pengalaman spiritual emosional tetapi tentang kehidupan baru di dalam Kristus melalui sakramen baptis.
Pemahaman kita tentang kemampuan rohani anak-anak akan berkonsekuensi bagi pemahaman kita tentang tempat bagi mereka di gereja. Karena khotbah adalah titik fokus dari banyak ibadah Protestan, banyak bayi yang dikirim ke penitipan anak. Mereka tidak diharapkan dalam pelayanan ibadah utama. Hal ini pada umumnya diasumsikan bahwa ibadah utama adalah untuk anggota dewasa.
Dalam Gereja Orthodox pemahaman umum adalah bahwa anak-anak, bahkan bayi muda, ikut ambil bagian dalam liturgi. Mereka mungkin tidak sepenuhnya memahami apa yang terjadi, tetapi mereka berada di hadirat Allah. Gereja Orthodox percaya paparan ini penting bagi pertumbuhan rohani mereka. Selain itu, sebagai tanda masuknya mereka dalam kerajaan Allah, anak-anak diberi Komuni Kudus. Praktek di paroki-paroki Orthodox pada umumnya membiarkan anak-anak pada barisan pertama untuk menerima Komuni diikuti oleh orang-orang dewasa. Namun ini sangat bertolak belakang dengan tradisi Protestan di mana kita akan melihat orang tua pergi untuk menerima Komuni, sementara anak-anak mereka tetap di belakang karena mereka belum membuat pengakuan iman.
5. Apa perbedaan yang ada antara Katolik, Lutheran dan Orthodox dalam pembaptisan bayi?
Ketiganya memiliki tradisi baptisan bayi tetapi Katolik Roma dan gereja-gereja Lutheran cenderung menunda Penguatan (Krisma) dan Komuni (Ekaristi) sampai anak mencapai usia tertentu. Praktek dalam Gereja Orthodox membaptis bayi pada umumnya sekitar satu bulan setelah mereka dilahirkan, dan langsung diberikan sakramen Krisma dan Komuni Kudus dalam pelayanan bersamaan baptisannya. Hal ini membuat mereka menjadi anggota sepenuhnya di dalam Keluarga Allah, Gereja Kristus.
Ini adalah pemandangan yang sangat menyentuh ketika melihat orang tua membawa bayi dan anak-anaknya untuk Komuni, di belakang garis balita ada para remaja, kemudian dewasa. Pemandangan Komuni Gereja Orthodox seperti ini adalah sesuatu yang anda tidak akan temukan baik dalam Katolik Roma ataupun paroki-paroki Lutheran, dimana Sarana Keselamatan Kristus itu adalah untuk semua orang dari segala usia!
Kamis, 05 September 2013
Apakah Babi Haram? Wahai Babi-babi apakah gerangan salahmu?
Oleh : Arkhimandrit Rm. Daniel Byantoro
Baru-baru ini dunia dihebohkan dengan wabah flu babi. Banyak orang ketakutan dengan wabah ini. Apakah babi memang suka bikin heboh? Rupanya demikian. Entah dosa apa yang telah dilakukannya, sejak dulu banyak orang tidak respek kepada binatang berwarna merah jambu ini, dan memandangnya sebagai binatang najis. Mereka merasa jijik melihat dan menyentuhnya, apalagi menyantap dagingnya yang lezat itu. Dan jika kita membaca perikop berjudul Yesus Mengusir Roh Jahat dari Orang Gerasa (Mrk 5:1-20, Mat 8:28-34; Luk 8:26-39), nasib para babi semakin merana. Apakah Yesus juga ikut-ikutan tidak respek pada para babi dan membuat rugi para peternak babi? Kenapa binatang babi,kenapa nggak anjing atau ular,yang dari jaman Adam Hawa sudah simbol setan? Tetapi kalau Yesus nggak respek sama babi kenapa orang Kristen justru makan babi, bukankah ini haram? Apa landasan dan dalil yang dilakukan orang Kristen ini?
Jawaban Romo Daniel:
Pertanyaan masalah halal dan haramnya babi yang seperti itu memang sering dipertanyakan kepada umat Kristen: “Apakah dalam Kekristenan itu diijinkan atau tidak memakan daging babi?”. Lalu mana dalil dan hukumnya kalau diijinkan atau tidak diijinkan tersebut. Demikianlah biasanya pertanyaan itu diajukan. Berbicara masalah dalil dan hukum, di dalam seluruh Alkitab hanya ada satu ayat saja yang menerangkan larangan memakan babi, yaitu :”Demikian juga babi, karena memang memamah biak, tetapi tidak berkuku belah, haram itu bagimu”( Imamat 11:7). Ayat dalam Imamat 11:7 ini menjelaskan kepada kita bahwa babi dihukumkan haram, bukan karena bentuk babinya yang bercungur empat persegi dan berwarna merah jambu itu sendiri.
Namun karena babi itu tidak memenuhi kriteria hukum tentang halalnya makanan, yaitu karena babi diharamkan, sesuai dengan ketentuan mengenai makanan yang boleh dan tidak boleh dimakan. Sedangkan menurut ketentuan hukum Taurat ini syarat makanan halal adalah”setiap binatang yang berkuku belah, yaitu yang kukunya bersela panjang dan yang memamah biak” (Imamat 11:3), sedangkan makanan atau binatang yang haram adalah: “yang tidak berkuku belah”. Dengan demikian penekanan dari syariat Taurat ini bukan pada bentuk hewan babinya, namun pada keterbelahan kukunya dan kemamah biakannya, secara bersama. Sehingga binatang apapun yang memamah biak tanpa terbelah kuku itu haram hukumnya, dan binatang yang terbelah kuku tetapi tak memamah biak juga haram. Itulah sebabnya menurut syariat Taurat Unta itu binatang haram, “karena memang memamah biak, tetapi tidak berkuku belah” (ayat 4). Jadi dari kacamata hukum Taurat pada saat seseorang menyembelih unta dan memakan dagingnya dia telah dianggap memakan daging haram, dan berdosa besar (Imamat 11: 4 :” Tetapi inilah yang tidak boleh kamu makan dari yang memamah biak atau dari yang berkuku belah: unta, karena memang memamah biak, tetapi tidak berkuku belah; haram itu bagimu”), jadi sama haramnya dalam anggapan orang dengan ketika orang Kristen memakan daging babi, kalau hukum Taurat ini yang dijadikan dalil. Jadi dari kacamata Syariat Taurat siapapun yang memakan daging unta itu juga sama-sama memakan daging haram, sebagaimana orang dianggap memakan daging haram ketika makan daging babi. Berarti kedua-duanya sama-sama melanggar hukum Allah dalam Taurat.Tetapi kalau jawabannya bahwa hukum Taurat sudah digantikan, maka tak berlaku lagi ketetapannya. Jawaban yang sama yang berdasarkan Injil akan diberikan oleh orang Kristen mengenai makan daging babi itu. Dan binatang lain yang mempunyai tanda seperti unta”memamah biak, tak berkuku belah” adalah :pelanduk dan kelinci (Imamat 11:5-6 ), padahal “sate kelinci” enak bukan? Inipun menurut syariat Taurat “HARAM” hukumnya. Tetapi bukan hanya itu saja, anjingpun berarti haram, karena anjing kakinya tak berkuku belah dan tak memamah biak. Termasuk juga ular, belut dan bekicot adalah haram hukumnya, meskipun di Indonesia banyak orang makan belut, daging ular dan sate bekicot.
Sedangkan babi adalah binatang jenis yang kedua yang tidak boleh dimakan yaitu “berkuku belah, namun tak memamah biak “ sehingga binatang ini dinyatakan haram. Jadi hukum haramnya babi dimakan adalah berdasarkan masalah tanda yang dimiliki babi itu. Sehingga kalau saja babi itu memamah biak, dan berkuku belah meskipun bentuknya tetap babi, pastilah si babi jadi tidak haram lagi hukumnya. Pertanyaannya adalah mengapa babi dilarang dimakan ? Apakah itu karena bentuknya yang gemuk itu? Tetapi binatang lain banyak yang gemuk namun tidak haram! Apakah itu binatang kotor, tetapi semua binatangpun kotor, dan kalau sudah dicuci dan dimasak serta ditaruh diatas piring, jadinya sama bersihnya?Apakah karena kandungan penyakit yang ada didalam dagingnya? Binatang lain juga mengandung penyakit jika tidak dimasak secara masak. Lagipula apakah bangsa-bangsa pemakan daging babi (semisal Cina, Korea, Jepang, dan bangsa-bangsa lainnya) itu jauh lebih sakit-sakitan dibanding bangsa yang bukan pemakan babi?. Itu hanya relatif saja bukan?. Apakah tidak memakan babi membuat manusia lebih bermoral, lebih mengasihi, lebih tidak membenci orang, lebih dermawan, lebih suci dibanding orang-orang pemakan babi? Sering orang yang mempertanyakan kepada orang Kristen itu sendiri kalau ditanya dalilnya hanya memberi jawaban “karena itu perintah Allah” begitu saja. Syariat Taurat memberikan ketentuan tanda-tanda mengenai yang haram dan yang halal, sedangkan babi memiliki tanda sesuai dengan ketentuan itu. Jadi jika ada binatang lain apapun yang memiliki ciri sesuai dengan ketentuan Syariat Taurat seperti babi ini, pastilah binatang itu haram hukumnya. Tidak dijelaskan oleh si penanya alasannya babi haram dan kambing tidak. Dan juga tak kita jumpai keterangan mengapa ada yang memakan daging yang justru diharamkan Taurat : Unta , justru tak dianggap makan daging haram.
Ada banyak lagi binatang haram dimakan menurut Taurat, bukan hanya babi, dan babipun bukan fokus utama. Ada binatang air, yang halal :” yang bersirip dan bersisik “dan ada yang haram “yang tidak bersirip atau tak bersisik” (ayat 9-10 ), termasuk didalamnya adalah belut, ular dan ikan lele, padahal “ikan lele” enak kan,. tetapi menurut Taurat itu semua haram hukumnya. Dan masih banyak lagi didalam Imamat 11:1-47 binatang yang dihukumkan halal dan haram untuk dimakan itu. . Jika ada orang bertanya, apakah syariat hukum tentang halal-dan haram ini berlaku untuk segenap manusia, termasuk orang Kristen ? Yang jelas saja dari kacamata hukum Taurat banyak orang telah melanggar hukum ini, dengan memakan daging haram : unta, kelinci dan ikan lele seperti yang telah kita berikan contoh di atas itu. Kalau begitu hukum ini untuk semua orang atau tidak ? Tentunya orang akan mengatakan tidak , sebab kalau hukum ini mengikat semua orang tentunya orang pasti tak akan memakan: unta, kelinci, belut dan ikan lele itu, dan pastilah akan menentang jika orang lain mempersembahkan korban daging unta untuk keperluan keagamaan, tentunya orang juga akan mengadakan kampanye menentang penjualan “sate kelinci” dan “pecel lele” yang banyak di dapat di warung-warung makan di Indonesia (setidak-tidaknya, dipulau Jawa ), jika hukum Taurat dalam Imamat 11 itu mengikat semua manusia.
Jadi penyebutan babi sebagai haram dimakan itu adalah dalam rangkaian yang tak terpisahkan dari seluruh ketetentuan hukum ini. Jadi jika orang menganggap orang Kristen melanggar Kitab Sucinya sendiri dengan memakan makanan daging babi yang haram itu, maka pertanyaannya adalah: Mengapa babi saja yang diharamkan, dan unta dihalalkan ? Padahal kedua-duanya binatang haram menurut Kitab Suci yang sama itu ?! Orang harus bisa memberikan penjelasan yang logis, jika memang hendak menuntut umat Kristen mengikuti syariat Taurat ini.
Jika ada orang yang memegang ritual hukum Taurat ini sebagai landasannya, maka orang Kristen yang Imannya berdasarkan “apokalypsis” (penyataan diri/pengungkapan diri/pewahyuan diri Allah), dan bukan berdasarkan “imla” satu Kitab yang berwujud sekedar larangan dan suruhan, namun berwujud kebenaran pemulihan kodrat kepada fitrah azali itu, sebagai landasannya, akan lebih lagi bukan berfokus pada apa yang bagi Taurat sendiri bukan fokus: babi, karena babi dijadikan contoh bagi ketentuan Taurat yang menunjuk khusus binatang “yang berkuku belah namun tidak memamah biak” itu.Dan disamping babi masih ada banyak binatang lain yang juga diharamkan. Lagi pula, ketentuan pasal dari Taurat ini jelas ditujukan kepada Israel:” Lalu Tuhan berfirman kepada Musa dan Harun, KataNya kepada mereka:”Katakanlah kepada ORANG ISRAEL begini...”(Imamat 11:1). Jadi ketentuan hukum Taurat mengenai halal-haramnya makanan ini ditujukan kepada orang Israel, bukan kepada segenap manusia, bukan bagi kaum Muslimin dan juga bukan bagi orang Kristen.
Ketentuan hukum ini tak terpisah dari kesatuan dari seluruh hukum yang ada dalam Kitab Imamat ini. Karena kitab Imamat ini mempuyai struktur dan tema yang jelas. Tema itu dapat saya bagi menjadi dua bagian besar yaitu: Jalan menuju kepada Allah yang berwujud syariat ibadah (pasal 1-17), dan cara hidup dalam pergaulan Karib dengan Allah(pasal 18-27).
Jalan menuju kepada Allah itu sendiri diperinci: pemulihan diri manusia berdosa kepada Allah melalui syariat kurban(1-8) yang melaluinya pengampunan dosa diperoleh, perlunya ada pejabat-pejabat yang melakukan korban agar syariat korban itu dapat berjalan: Imam Besar/Agung, Imam-Imam dan Orang-Orang Lewi (pasal 8-10), hukum kesucian ritual (pasal 11-17).yang menyangkut sucinya makanan halal dan haram (pasal 11), sucinya wanita yang melahirkan bayi (pasal 12), sucinya kulit manusia dari kusta (pasal 13-14), sucinya orang laki-laki sesudah mengeluarkan air mani dan perempuan sesudah mengeluarkan lelahan darah (pasal 15) hari pengudusan seluruh ummat dalam hari raya korban agung: yom kippur/yaumul kiffarat/ hari raya pendamaian (pasal 16) dan tempat penyembelihan korban (pasal 17).
Cara hidup dalam Pergaulan Karib dengan Allah dalam bentuk: kudusnya umat itu sendiri, yaitu dalam hal-hal: kudusnya perkawinan dan masalah hubungan seksual yang dilarang dan diijinkan (pasal 18), kudusnya kehidupan secara umum (pasal 19) kusunya umat Tuhan, bangsa Israel (pasal 20), kudusnya para imam (pasal 21), kudusnya kebaktian korban (pasal 22), hari-raya hari-raya keagamaan (pasal 23), minyak lampu untuk Bait Allah, mengenai Roti Sajian untuk Ruangan Mahakudus, dan hukuman atas penghujat nama Tuhan dan lain-lain kejahatan (pasal 24), mengenai tahun Sabat dan tahun Yobel (pasal 25), mengenai “berkat” dan “kutuk” (pasal 26), serta yang terakhir mengenai membayar nazar dan persepuluhan (pasal 27). Semua hukum ini adalah merupakan satu kesatuan yang tak bisa dicomot salah satu lalu ditinggal yang lain. Jadi kita tak bisa menuntut orang tidak makan babi dari Imamat 11:7, lalu meninggal hukum-hukum yang lain yang ada dalam satu kitab yang jumlahnya se-abreg itu.
:
Demikianlah struktur dan tema dari Kitab Imamat ini. Bagi ummat Kristen hukum korban dan hukum jabatan keimaman itu sudah digenapi dalam korban yang dilakukan Yesus Kristus ketika dia mati di kayu salib sebagai korban peperangannya melawan dosa, kelapukan-kefanaan dan maut, bagi penebusan manusia, sehingga ketika membaca hukum-hukum korban itu langsung orang Kristen melihat penggenapannya dalam karya Kristus di atas salib itu. Sebagaimana dikatakan:”Dan karena kehendakNya inilah kita telah dikuduskan satu kali untuk selama-lamanya oleh persembahan tubuh Yesus Kristus” ( Ibrani 10:10) “….Sebab anak domba Paskah kita telah disembelih, yaitu Kristus” ( I Korintus 5:7b)
Dan kenaikan Kristus ke sorga setelah mempersembahkan diriNya sebagai korban diatas Salib dan bangkit dari kematian, lalu duduk disebelah kanan Allah itu dilihat sebagai penggenapan dari jabatan ke-Imam-an dalam Kitab Imamat ini:”….kita mempunyai Imam Besar yang demikian, yang duduk disebelah kanan takhta Yang Maha Besar di sorga, dan yang melayani ibadah di tempat kudus, yaitu dalam kemah sejati, yng didirikan oleh Tuhan dan bukan oleh manusia” (Ibrani 8:1-2).
Sedangkan mengenai hukum kesucian ritual bagi Israel yang digunakan untuk membedakan dan memisahkan Israel dari bangsa-bangsa penyembah berhala di sekitarnya, dilihat dari kacamata Kristen sebagai keharusan setiap orang Kristen untuk hidup “secara moral” berbeda dari umat yang tidak percaya yang ada disekitarnya, karena ummat Kristen tahu bahwa hukum halal-haram itu secara khusus diperuntukkan Israel, sehingga prinsipnyalah yang tetap dipakai orang Kristen, yaitu prinsip dapat membedakan yang berguna dan yang tidak, prinsip yang mana yang kudus mana yang najis secara moral, prinsip pengendalian diri, jangan asal santap saja, dan seterusnya.
Demikianlah seluruh hukum Taurat ini dilihat dari kacamata Kristen sebagai sungai yang bermuara dalam Apokalypsis terakhir : Peristiwa Yesus Kristus, sehingga ketentuan-ketentuan hukum yang ada padanya harus dilihat dari kacamata itu. Oleh karenanya tidak bisa mengambil satu ayat dilepaskan dari konteks keseluruhan struktur dan tema dari Kitab ini lalu dijadikan dalil lepas tak terkait dengan hokum-hukum yang lain begitu saja. Karena “hukum moral” dari Taurat itu tak bersifat lokal artinya agama apapun dari budaya apapun akan mengiakan hukum moral itu: jangan berzina, jangan mencuri, jangan berdusta, jangan membunuh dan seterusnya. Iman Kristen melihatnya itu sebagai hukum yang berkaitan langsung dengan fitrah manusia, oleh karena itu hukum moral Taurat itu diterima sebagai hukum universal, bukan hanya untuk Israel. Sedangkan “hukum ritual” dan “muamalah” itu bersifat lokal bagi Israel, misalnya makan babi, tidak semua agama dan budaya langsung mengiakan bahwa babi haram, namun berzinah secara otomatis dilarang semua agama. Hukum waris tanah Israel itu pasti tak bisa diterapkan bagi daerah dan bangsa lain.
Demikianlah faktanya bahwa berdasarkan kacamata dan berdalilkan pada makna “Apokalypsis”, iman Kristen melihat hukum dan ritual sebagai sudah digenapi dalam peristiwa Yesus Kristus, sedangkan hukum moral itulah yang menjadi realita hukum langsung yang berkaitan dengan fitrah manusia, termasuk moral ibadah.
Jika demikian tidak adakah tuntunan kaidah dalam Iman Kristen mengenai tata cara makanan yang tidak diperbolehkan atau tidak diperbolehkan? Ada, namun dikaitkan langsung dengan hukum moral sehingga bersifat universal dan tidak melokal dan dapat diterapkan secara fleksibel sesuai dengan situasi tempat maupun kondisi orangnya. Kaidah-kaidah itu adalah:
“...Tidak tahukah kamu bahwa sesuatu dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskannya, karena bukan masuk kedalam perutnya, lalu dibuang di jamban? Dengan demikian IA MENYATAKAN SEMUA MAKANAN HALAL” (Markus 7:18-19)
“ Makanan tidak membawa kita lebih dekat kepada Allah kita tidak rugi apa-apa, kalau tidak kita makan dan kita tidak untung apa-apa, kalau kita makan. Tetapi jagalah supaya kebebasanmu ini jangan menjadi batu sandungan bagi mereka yang lemah” ( I Korintus 8:8-9).
Artinya memang secara hakikat tak ada makanan yang haram pada dirinya sendiri, misalnya jika orang yang menganggap babi itu haram jadilah dia binatang haram, demikian juga bagi orang orang yang menganggap daging sapi haram dimakan, jadilah daging sapi itu haram, namun bagi yang tak mempercayainya babi atau sapi itu tak ada haramnya sama sekali, itu netral:
”...bahwa tidak ada sesuatu yang najis (haram) dari dirinya sendiri. Hanya bagi orang yang beranggapan, bahwa sesuatu adalah najis (=haram), bagi orang itulah sesuatu itu najis (=haram) (Roma 14:14),
Jadi orang Kristen dibebaskan dari ritual lokal, namun tidak dibebaskan dari hukum moral yang universal “supaya kebebasanmu ini jangan menjadi batu sandungan bagi mereka...”.Yang ditekankan bukan haramnya makanan karena tak ada makanan yang haram pada dirinya, namun efek emosional dan efek perasaan bagi orang lain yang melihat apa yang kita makan.
Itulah sebabnya:“Jangan engkau merusakkan pekerjaan Allah oleh karena makanan!segala sesuatu adalah suci, tetapi celakalah orang, jika karena makanannya orang lain tersandung. Baiklah engkau jangan makan daging (termasuk daging babi ) atau minum anggur, atau sesuatu yang menjadi batu sandungan untuk saudaramu” (Roma 14:20-21).
Disinilah kita lihat betapa luwes dan universalnya aplikasi tentang mana yang bisa dimakan dan mana yang tidak bisa dimakan itu dalam iman Kristen. Orang Kristen harus melihat situasi dan kondisi, dan orang Kristen diajar selalu berfikir logis sesuai dengan kondisi tadi dalam menterapkan mana yang boleh dimakan, bukan hanya bersifat ikut-ikutan saja tanpa menggunakan pikiran, asal dilarang dijauhi, tanpa ada alasannya mengapa itu dilarang.
“Segala sesuatu halal bagiku, NAMUN TIDAK SEMUANYA BERGUNA. Segala sesuatu halal bagiku, TETAPI AKU TIDAK MEMBIARKAN DIRIKU DIPERHAMBA OLEH SESUATU APAPUN “(I Korintus 6:12).
Karena menurut Perjanjian Baru tidak ada makanan yang najis atau haram pada dirinya sendiri, dengan kata lain “segala sesuatyu halal”, namun tak berarti semua harus dilahap dengan rakus. Karena biarpun segala sesuatu halal, namun “NAMUN TIDAK SEMUANYA BERGUNA” , Dengan demikian jikja makanan itu tidak membawa klegunaan dan dampak yang baik bagi dirijnya sendiri maupun bagi lingkungannya, orang tidak hartus makan makanan itu. Jika babi membuat kesaksian kita akan Kristus terhalang, kita sebaiknya pantang makan babi itu. Dan jika sesuatu makanan atau benda yang lain memperhamab kita sehingga kita terikat dan takluk serta kecanduan akibat darinya, maka kita harus buang dan hentikan menggunakannya, karena “AKU TIDAK MEMBIARKAN DIRIKU DIPERHAMBA OLEH SESUATU APAPUN” . Berdasarkan prinsip yang diambil dari ayat ini, maka orang Kristen diajar untuk mengendalikan diri dalam hal makanan namun bukan karena makanannya itu yang haram atau najis, justru manusianya diajar untuk bebas dari ikatan perhambaan pada kerakusannya sendiri. Itulah sebabnya di kalangan umat Kristen Orthodox ada yang secara total berpantang daging selama hidup merekas, bukan hanya daging babi saja, dalam menghayati hidup imannya, terutama kaum rahib dan rahibah. Dan juga bagi kaum awam pada masa-masa puasa: puasa Natal selama 30 hari, puasa Paskah selama 40 hari, puasa peringatan Wafat Bunda Maria selama 15 hari, puasa Hari Rabu dan Hari Jum’at setiap minggunya, dan puasa-puasa yang lain, umat Orthodox pantang makan semua daging, bukan hanya daging babi saja, pantang makan produk binatang sembelihan ini : susu dan telur dengan segala produk olahannya, pantang minum anggur, makan buah anggur dan segala olahannya, bukan karena itu najis atau haram, namun sebagai sarana pencegahan dan pengendalian hawa nafsu dan kehendak, bagi peningkatan dan penjernihan batin.
Demikianlah jelas bahwa iman Kristen memberikan ajaran yang cukup logis yang langsung berkaitan dengan moral terhadap orang lain dan terhadap diri sendiri dalam menggunakan makanan apa yang boleh dan tak boleh dimakan, karena pada dasarnya tak ada yang haram satupun pada dirinya sendiri. Sungguh hukum Kristen itu hukum universal yang disungguhkan setiap orang, bukan hanya sekedar ritual-ritual lokal yang hanya diyakini kelompok tertentu saja. Orang Kristen tidak disuruh makan babi namun juga tak ada larangan. Makan atau tidak tergantung situasi dan kondisi. Sebab segala milik Allah itu suci adanya. Itulah sebabnya Iman Kristen, terutama Iman Kristen Orthodox, itu hanya diperuntukan bagi orang yang mau berfikir dewasa, untuk dapat mengambil keputusan moral secara logis dan konsekwen, bukan seperti anak kecil yang hanya berjalan kalau disuruh dan berhenti kalau dilarang.
Sekarang mari kita bicarakan mengenai sikap Yesus pada babi-babi yang menjadi pertanyaan bagi penanya kita kali ini. Si penanya itu mengajukan pertanyaan yang bernada membela para babi, yang demikian:
“Entah dosa apa yang telah dilakukannya, sejak dulu banyak orang tidak respek kepada binatang berwarna merah jambu ini, dan memandangnya sebagai binatang najis. “
Jawaban: Dosa para babi itu sih tidak ada pada dirinya sendiri, terutama ditegaskan secara logis sesudah Perjanjian Baru itu ditegakkan di bumi, sebagaimana sudah dikatakan diatas : ”...bahwa tidak ada sesuatu yang najis dari dirinya sendiri. Hanya bagi orang yang beranggapan, bahwa sesuatu adalah najis, bagi orang itulah sesuatu itu najis “(Roma 14:14). Dengan demikian termasuk babipun sebagai yang diciptakan Allah sendiri sebenarnya tidak ada najisnya pada dirinya sendiri, hanya orang yang menganggap najis dan hukum yang d ibuat untuk menajiskannya itulah, maka menyebabkan binatang itu jadi najis. Orang tidak respek pada babi yanbg awalnya sebagai akibat pengaruh dari hukum yang sebenarnya hanya untuk orang Israel itu saja, ternyata itu berlanjut sampai kini. Jadi sebenarnya para babi itu menjadi korban “diskriminasi atas para binatang yang lain”. Jadi para babi itu tidak berdosa apapun, dan tak melakukan apapun yang layak untuk mendapat diskriminasi diantara “ras para binatang” itu. Manusianya dan hukum yang dibuat atas babi itu saja, yang membuat ras babi-babi itu tak dihormati dan dibenci.
“Mereka merasa jijik melihat dan menyentuhnya, apalagi menyantap dagingnya yang lezat itu.”
Sebenarnya memang effek “jijik melihat dan menyentuhnya” itulah yang dituju dalam hukum Imamat 11:7 itu. Karena umat Israel adalah bangsa yang dipilih sebagai sarana Mesias yang dijanjikan Allah itu akan muncul. Untuk itu mereka diberi aturan-aturan khusus yang memisahkan mereka dari bangsa-bangsa lain, agar kemurnian dan kelayakan mereka untuk menjadi sarana munculnya Mesias itu terjaga, sebab di saat itu bangsa-bangsa di sekitar Israel adalah penyembah berhala semua. Padahal penyembahan berhala itu sesuatu yang sangat dilarang menurut Hukum Taurat. Dan mereka dipilih dengan tujuan supaya ke-Esa-an Allah itu terpelihara, dan dengan demikian mereka layak menerima perjanjian untuk menjadi sarana datangnya Messias ditengah-tengah mereka, oleh karena itu mereka memang harus disisihkan. Sehingga bagi umat Israel yang telah telah tahu perjanjian Allah kepada Abraham trentang “keturunan” (Kristus) yang akan datang, maka Taurat itu bagi mereka:” ditambahkan oleh karena pelanggaran-pelanggaran--sampai datang keturunan yang dimaksud oleh janji itu—“ (Galatia 3:19),sehingga selama iman kepada Kristus itu belum datang Israel itu :” berada di bawah pengawalan hukum Taurat, dan dikurung sampai iman itu telah dinyatakan” (Galatia 3:23). Jadi “hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus datang” (Galatia 3:24).
Makanan adalah sarana perekat sosial yang termudah dan paling umum. Dengan perjamuan atau bersantap bersama, dan makan dengan orang lain, maka persahabatan dapat terjadi. Babi dan semua makanan yang dilarang dalam Imamat 11 adalah makanan yang biasa disantap oleh para bangsa sekitar Israel yang notabene adalah para penyembah berhala itu. Dengan mereka dilarang memakan makanan yang dimakan oleh bangsa-bangsa itu, maka kontak sosial dan pergaulan erat antara Israel dengan bangsa-bangsa itu dibatasi, agar tak terjadi hubungan social terlalu erat yang memudahkan terjadinya pelanggaran dan kompromi iman. Karena dilarangnya babi untuk dimakan, maka akan timbul ketidak-sukaan bangsa Israel atas binatang itu, dan dengan demikian akan timbul rasa “jijik melihat dan menyentuhnya” sehingga juga jijik untuk “menyantap dagingnya yang lezat itu” dengan demikian dibatasilah hubungan mereka dengan bangsa-bangsa lain yang menyembah berhala itu. Sehingga tak terjadi kontak dengan mereka dan tidak dipengaruhi keyakinan mereka, maka tidak ada pelanggaran akan ke-Esa-an Allah atas Israel.Maka mereka layak dipersiapkan bagi kedatangan Mesias ditengah-tengah mereka. Jadi masalahnya bukan pada babinya itu sendiri, tetapi larangan makan daging babi, dan binatang-binatang yang lain itu berfungsi sebagai pagar yang olehnya Israel “dikurung” dan juga sebagai “pengawal” dan “penuntun” bagi Israel sampai Kristus itu datang
Dan jika kita membaca perikop berjudul Yesus Mengusir Roh Jahat dari Orang Gerasa (Mrk 5:1-20, Mat 8:28-34; Luk 8:26-39), nasib para babi semakin merana.
Peristiwa pengusiran roh-roh jahat yang berjumlah ribuan ekor yang merasuk orang gila di Gerasa dan merasuki babi-babi sampai mereka menceburkan diri ke danau sampai mati itu adalah kejadian yang sekali dan tak terulang lagi. Jadi tak usah kuatir bahwa itu akan membuat para babi yang lain di luar peristiwa itu menjadi merana. Apa lagi tak mungkin ada orang yang bisa meniru peristiwa itu, dan lagi Kristus tak memerintahkan supaya apa yang dilakukanNya itu diulangi oleh para pengikutNya, yang jelas tak mungkin mereka ada yang bisa melakukannya. Memang roh-roh jahat itu diijinkan Kristus keluar dari orang yang kerasukan itu, lalu memasuki babi-babi, yang membuat babi-babi itu menjadi gila dan lari bersama-sama menceburkan diri ke dalam danau sampai mati. Namun itu harus dilihat dalam konteks yang kita bicarakan diatas. Gerasa adalah masih dalam wilayah Israel, sebagai wilayah dari bangsa yang dipersiapkan untuk menerima Mesias , dengan diberi pagar hukum Taurat, salah satunya adalah dilarang makan babi. Kelihatannya pemilik babi-babi itu bukanlah salah satu dari Bani Israel, sebab kalau dia adalah orang Israel tentu dia tak akan memelihara babi, sesuai dengan hukum Taurat. Tetapi jika dia itu adalah orang Israel berarti dia melanggar hukum Allah dengan memelihara babi-babi, dan bisa mempengaruhi orang Israel lainnya untuk melanggar hukum Taurat itu. Oleh karena itu Sang Kristus mengijinkan roh-roh jahat itu merasuk babi-babi itu bagi menyingkirkan sesuatu yang membuat sandungan bagi orang Israel lainnya, dan bagi memberi pelajaran kepada si pemilik babi itu. Namun jika si pemiliknya itu adalah penyembah berhala, dan bukan orang Israel, memelihara babi di tanah dimana Israel tinggal, akan menjerat orang Israel untuk meremehkan larangan Allah itu, sehingga pagar iman mereka jadi roboh serta bisa berkompromi dengan para penyembah berhala itu, sehingga mereka tak layak menjadi bangsa penrima Messias.. Itulah sebabnya Kristus kelihatannya mengijinkan roh-roh jahat masuk kedalam babi-babi itu untuk menghilangkan sesuatu yang bisa jadi perangkap bagi Israel, yang menjadikan mereka tak layak sebagai penerima Mesias.
Namun lebih dari itu semua, kita dapat melihat sikap Kristus kepada manusia. Dalam Markus 5:8, dan Lukas 8:30, roh-roh jahat itu menyatakan namanya sebagai “Legiun” sebab mereka jumlahnya banyak. Satu “legiun” adalah satuan tentara Romawi yang berjumlah 3000 orang. Berarti orang gila ini dirasuk sebanyak 3000 roh jahat. Yesus datang untuk melepaskan manusia dari kuasa Iblis dan roh-roh jahatnya, dosa dan kematian.Oleh karena melihat seorang manusia dirasuk 3000 roh jahat, Kristus tak merelakan hal itu terjadi. Sehingga roh-roh jahat itu diusir keluar masuk kedalam babi-babi itu., Jika satu roh jahat memasuki sekor babi, paling tidak ada 3000 ekor babi yang jadi korban si roh jahat ini. Dengan demikian seorang manusia gila itu lebih dari harga 3000 ekor babi, apakah pula harga seorang manusia yang tidak gila dia hadapan Allah. Jika demikian halnya alangkah mulianya manusia itu dimata Kristus , lebih mulia dibandingkan dengan sebanyak binatang apapun, dan lebih mulia dari nilai sebanyak harta manapun. Oleh karena itu Sang Kristus rela babi dikorbankan oleh roh-roh jahat demi seorang manusia. Bayangkan jika sekilo daging babi harganya Rp 80.000,- rupiah dan berat per ekor babi adalah 100 kg. Maka harga seekor babi bisa Rp 8000.000,- ( saya tidak tahu apakah memang harga babi sedemikian). Maka jika ada 3000 ekor babi, nilainya jadi 3000 x Rp 80.000,- = Rp 240.000.000,-. Ini harganya seorang manusia gila yang sudah dibuang masyarakat dan tidak dihormati lagi oleh mereka!!!!! Jika begitu halnya berapa pula nilai seoirang manusia waras, jelas harganya tak ternilai. Itulah sebabnya lebih baik babi dikorbankan daripada manusia yang menjadi korban penindasan dan kebinasaan. Manusia nilainya jauh lebih berharga diatas benda, harta atau binatang apapun. Inilah pelajaran yang dapat kita lihat dari tindakan Kristus ini.
Apakah Yesus juga ikut-ikutan tidak respek pada para babi dan membuat rugi para peternak babi?”
Alih-alih tidak respek pada para babi, Kristus lebih respek kepada manusia yang hidup dalam derita penindasan roh-roh jahat, sebagaimana yang telah kita jelaskan diatas. Apakah Kristus akan “membuat rugi para peternak babi”? Tentu tidak, karena peristiwa yang dilakukan Kristus itu hanya sekali saja terjadi, dan tidak ada orang yang bisa mengulangi tindakan Kristus itu, juga tak ada perintrah Kristus kepada para pengikutnya untuk mengulangi hal yang sama. Apalagi setelah Kitab Suci Perjanjian Baru tertulius menegaskan bahwa tidak ada makanan yang najis pada dirinya sendiri. Dan Kristus datang untuk menyatakan bahwa semua makanan halal, meskipun tidak semuanya berguna, sehingga pengikutnya harus tahu benar bagaimana memakan atau tidak memakan suatu makanan.
Kenapa binatang babi,kenapa nggak anjing atau ular,yang dari jaman Adam Hawa sudah simbol setan?
Jawaban:
Anjing dan ularpun tidak boleh dimakan, seperti yang sudah saya jelaskan diatas.
Tetapi kalau Yesus nggak respek sama babi kenapa orang Kristen justru makan babi, bukankah ini haram?
Jawaban:
Memang haram untuk Israel bagi menjadikan pagar buat mereka agar tak terlaluj bebas berasosiasi dengan para penyembah berhala, sehingga tak terpengaruhi oleh mereka. Karena mereka memang disisihkan sebagai bangsa yang ditengah-tengah mereka Mesias akan datang. Jadi hukum untuik Israel ini sudah tak berlaku lagi bagi umat Kristen.
Apa landasan dan dalil yang dilakukan orang Kristen ini?
Jawaban:
Dalil dan landasannya sudah saya jelaskan diatas.
Haram dan Halal
Oleh: Arkhimandrit Rm. Daniel Byantoro
Pendahuluan
Iman Kristen adalah keyakinan yang bersifat rahmat/kasih-karunia dan bukan bersifat syariat (hukum), karena Kitab Suci mengajarkan: ” …karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri” (Efesus 2:8-9).
Oleh karena itu kosa-kata “haram” dan “halal” yang berasal dari Ilmu Fiqih Islam (Ilmu Hukum Islam) itu sebenarnya memang tidak tepat digunakan dalam konteks Iman Kristen. Sebab keselamatan yaitu lepas dari kuasa Maut, Dosa dan Iblis, dan menyatu kepada Kemuliaan, Kekudusan, Hidup Kekal, milik Allah yaitu mengalami “ambil bagian dalam kodrat Ilahi” (II Petrus 1:4), serta menjadi “sama seperti Dia” (I Yohanes 3:21) dan pada akhirnya nanti terjadi seperti yang dikatakan Sang Kristus sendiri: “di tempat di mana Aku berada, kamu pun berada” di rumah Bapa (Yohanes 14:2), dan “di mana pun Aku berada, mereka juga berada bersama-sama dengan Aku” (Yohanes 17:24), serta pada saat itu kita yang percaya “akan bercahaya seperti matahari dalam Kerajaan Bapa” (Matius 13:43) itu terjadi bukan karena akibat menjalankan aturan hukum ritual Taurat apapun. Ini semua terjadi bukan karena akibat dari kita mengumpulkan sekian banyak “pahala” karena menjalankan aturan hukum, namun karena kasih-karunia/rahmat Allah semata.
Maksudnya bukannya berasal dari “pahala” sebagai akibat mengikuti aturan hukum yang bersifat “halal” dan “haram” yang menjadi landasan dasar kita diselamatkan seperti yang kita maksud diatas itu. Namun keselamatan yang demikian itu terjadi karena Kristus telah mati di Kayu Salib dengan demikian mengalahkan kuasa Dosa (I Yohanes 3:8), serta mati dikuburkan dan bangkit, dengan demikian mengalahkan Iblis (Ibrani 2:14), serta bangkit dari antara orang mati dan tidak mati lagi selamanya karena “maut tidak lagi berkuasa atas Dia” (Roma 6:9), dengan demikian “mematahkan kuasa maut dan mendatangkan hidup yang tidak dapat binasa” (II Timotius 2:10). Karya Kristus inilah yang mendatangkan keselamatan, dan manunggal dengan Kristus yang telah menyelesaikan Karya Penebusan atau Karya Keselamatan yang seperti itulah yang menyebabkan kita diselamatkan seperti yang kita maksud diatas. Allah sendirilah yang karena “begitu besar kasihNya akan dunia ini” (Yohanes 3:16) dengan mengutus FirmanNya turun dari sorga (Yohanes 13:13) “menjadi manusia” (Yohanes 1:14) yang memungkinkan keselamatan yang demikian itu terjadi. Jadi keselamatan itu memang “pemberian Allah” dan “bukan hasil usahamu” serta “itu bukan hasil pekerjaanmu”.
Dengan demikian dalam kita membahas boleh atau tidaknya kita makan darah, atau makan kadal, atau makan “paniki” (“daging kalong” masak pedas, yang dilakukan di Manado) atau makan tikus sawah (juga dilakukan di Manado), atau makan cacing, atau makan daging anjing, atau makan daging babi (terutama di tanah Batak dan di Manado) , atau makan apapun, kebenaran hakiki dari Injil ini tak boleh dilupakan. Kebenaran berita gembira keselamatan ini yang harus menjadi tolok ukurnya, dan bukan comotan satu ayat Alkitab yang kemudian dijadikan mutlak yang kita jadikan landasannya. Apalagi jika kemudian ayat yang dicomot tadi dijadikan sarana menghakimi orang lain, terutama dalam hal boleh atau tidaknya kita makan sesuatu.
Permasalahan
Diantara sebagian orang yang menyebut dirinya Kristen, dalam usahanya untuk hidup Kristen secara murni, ada sebagian yang merasa bahwa mereka harus melawan apapun yang dianggap bertentangan dengan Iman Kristen, terutama dalam masalah adat-istiadat. Landasan keyakinan yang demikian itu dilandasi oleh sabda Sang Kristus yang demikian: "Mengapa murid-murid-Mu melanggar adat istiadat nenek moyang kita? Mereka tidak membasuh tangan sebelum makan." Tetapi jawab Yesus kepada mereka: "Mengapa kamu pun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu? Sebab Allah berfirman: Hormatilah ayahmu dan ibumu; dan lagi: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya pasti dihukum mati. Tetapi kamu berkata: Barangsiapa berkata kepada bapanya atau kepada ibunya: Apa yang ada padaku yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk persembahan kepada Allah, orang itu tidak wajib lagi menghormati bapanya atau ibunya. Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadatmu sendiri” (Matius 15: 2-6).
Sabda Sang Kristus ini sebenarnya ditujukan kepada orang-orang Farisi dan para Ahli Taurat (Matius 15:1) yang lebih menekankan pada pada “adat istiadat nenek moyang” (bahasa asli “adat-istiadat para tua-tua”), yaitu tafsiran dan ajaran dari “para tua-tua” yaitu para Rabbi (rohaniwan agama Yahudi) atas hukum-hukum dalam Taurat, dan yang tertulis dalam Kitab Suci mereka yang kedua “Talmud” disamping ”Tanakh” (Perjanjian Lama). Bukti bahwa apa yang dikritik Tuhan Yesus disini adalah masalah Talmud, adalah keluhan dari orang-orang Farisi dan para ahli Taurat itu yang mengecam para murid Sang Kristus yang “tidak membasuh tangan sebelum makan”, juga kecaman Sang Kristus atas ajaran mereka “kamu berkata: Barangsiapa berkata kepada bapanya atau kepada ibunya: Apa yang ada padaku yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk persembahan kepada Allah, orang itu tidak wajib lagi menghormati bapanya atau ibunya”.
Hal ini diperkuat lagi dengan pasal paralel dari Markus 7:1-13: ”Pada suatu kali serombongan orang Farisi dan beberapa ahli Taurat dari Yerusalem datang menemui Yesus. Mereka melihat, bahwa beberapa orang murid-Nya makan dengan tangan najis, yaitu dengan tangan yang tidak dibasuh. Sebab orang-orang Farisi seperti orang-orang Yahudi lainnya tidak makan kalau tidak melakukan pembasuhan tangan lebih dulu, karena mereka berpegang pada adat istiadat nenek moyang mereka; dan kalau pulang dari pasar mereka juga tidak makan kalau tidak lebih dahulu membersihkan dirinya. Banyak warisan lain lagi yang mereka pegang, umpamanya hal mencuci cawan, kendi dan perkakas-perkakas tembaga. Karena itu orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu bertanya kepada-Nya: "Mengapa murid-murid-Mu tidak hidup menurut adat istiadat nenek moyang kita, tetapi makan dengan tangan najis?" Jawab-Nya kepada mereka: "Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia." Yesus berkata pula kepada mereka: "Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat istiadatmu sendiri. Karena Musa telah berkata: Hormatilah ayahmu dan ibumu! dan: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya harus mati. Tetapi kamu berkata: Kalau seorang berkata kepada bapanya atau ibunya: Apa yang ada padaku, yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk korban -- yaitu persembahan kepada Allah --, maka kamu tidak membiarkannya lagi berbuat sesuatu pun untuk bapanya atau ibunya. Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadat yang kamu ikuti itu. Dan banyak hal lain seperti itu yang kamu lakukan.".
Dalam ayat-ayat ini Kitab Suci menjelaskan bahwa yang diikuti oleh orang-orang Farisi dan para ahli Taurat serta orang-orang Yahudi lainnya itu adalah “berpegang pada adat istiadat nenek moyang mereka”, “hidup menurut adat istiadat nenek moyang”, yang oleh Sang Kristus hal itu dikritik dengan menyatakan bahwa “ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia, serta bahwa mereka hanya “berpegang pada adat istiadat manusia atau “memelihara adat istiadatmu sendiri”, serta hanya merupakan “adat istiadat yang kamu ikuti” saja. Adat istiadat “nenek-moyang” atau “para tua-tua”, yaitu tafsiran para Rabbi Yahudi itu isinya diantaranya adalah mereka dilarang “makan dengan tangan najis, yaitu dengan tangan yang tidak dibasuh”, juga mereka “tidak makan kalau tidak melakukan pembasuhan tangan lebih dulu”, serta “kalau pulang dari pasar mereka juga tidak makan kalau tidak lebih dahulu membersihkan dirinya”, juga mereka memiliki aturan-aturan yang rinci dan menyulitkan masalah “mencuci cawan, kendi dan perkakas-perkakas tembaga “, serta “Banyak warisan lain lagi yang mereka pegang”.
Sebenarnya tafsiran masalah pembasuhan itu adalah perluasan dari apa yang dikatakan dalam Imamat 15 mengenai cara pentahiran bagi orang yang mengeluarkan lelehan. Jadi apa yang dikritik Tuhan Yesus dalam masalah adat-istiadat ini adalah aturan-aturan yang dibuat oleh para Ahli Taurat dan para Orang Farisi berdasarkan tafsiran para Rabbi Yahudi yang dikumpulkan dalam Kitab “Talmud”. Orang-orang Yahudi sampai sekarang menganggap Talmud itu sebagai diilhamkan Allah di Gunung Sinai bersamaan dengan diberikannya TORAH, dan sejajar dengan Kitab Perjanjian Lama (TANAKH)[1]. Dan mereka memahami Perjanjian Lama dari kacamata Talmud ini, sebagaimana orang Kristen memahami Perjanjian Lama dari kacamata Pribadi, Karya dan Ajaran Yesus Kristus dan dari kacamata Perjanjian Baru.
Jadi yang menjadi kritik Tuhan Yesus disini bukanlah masalah “adat-istiadat” budaya itu sendiri, namun adat-istiadat pentafsiran Kitab Perjanjian Lama dalam Talmud yang keliru dan yang bertentangan dengan “ruh/semangat dan makna” dari pengajaran Kitab Suci yang ditafsirkannya. Misalnya masalah pemeliharaan orang tua yang harus dilakukan oleh setiap anak yang sudah dewasa, sebagaimana yang disebut dalam Matius 15:4-6 dan Markus 7: 10-12, yang akhirnya dipelintir menjadi tidak perduli pada orang tua lagi, karena dananya dijadikan “korban/persembahan kepada Allah” sesuai yang diajarkan Talmud. Maka kita harus hati-hati dalam mentafsirkan Kitab Suci agar itu tidak berlawanan dengan “ruh/semangat dan makna” dari apa yang diajarkan oleh Kitab Suci, terutama dalam mentafsirkan boleh atau tidaknya, halal atau haramnya memakan darah.
Memang bagi kita orang Kristen kalau adat istiadat budaya yang secara terang-terangan bertentangan dengan ajaran Kitab Suci, misalnya: penyembahan nenek-moyang, penyembahan berhala, percaya pada pelebegu (Batak) atau pada perdukunan, jimat, mantra, sajen-sajen (Jawa) atau pada “opo-opo” (Manado), atau pada “swanggi” (Timor), atau menggunakan “hu “ dan “pat kwa” bagi melindungi rumah dari gangguan Setan dan menggunakan “ciamsi” bagi menanyakan nasib atau bertanya pada “suhu yang kerasukan dewa” serta percaya “hong sui/feng shui” untuk membawa “hokki” dan percaya pada ramalan berdasarkan “shio” untuk mengetahui apa yang akan terjadi (Tionghoa), serta percaya pada sihir, tenung, santet, dan lain-lain, itu dengan tegas harus disingkirkan dari kehidupan kita.
Namun tidak semua adat-istiadat budaya itu bertentangan dengan Kitab Suci. Itulah sebabnya kita harus memiliki hikmat dan pemahaman Kitab Suci yang mendalam dan benar bagi menentukan dalam terang ajaran dari Kitab Suci mana yang boleh dipertahankan dan mana yang harus ditinggalkan dalam adat-istiadat budaya kita itu. Karena dalam beberapa budaya Indonesia, terutama di tanah Batak, terdapat budaya memakan darah yang disebut “sangsang” (baca: sak-sang) yang merupakan “adat-istiadat Batak" [2], maka diantara orang-orang Kristen terutama yang bersuku-bangsa Batak ini, dengan melihat apa yang tertulis dalam Matius 15:2-6, dan Markus 7: 1-13 tanpa pemahaman yang mendalam, sebagian ada yang berusaha untuk menentang adat-istiadat itu terutama yang menyangkut “makan darah”. Karena terdapat ayat dalam Alkitab yang berbunyi: ”Sebab adalah keputusan Roh Kudus dan keputusan kami, supaya kepada kamu jangan ditanggungkan lebih banyak beban dari pada yang perlu ini: kamu harus menjauhkan diri dari makanan yang dipersembahkan kepada berhala, dari darah, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari percabulan. Jikalau kamu memelihara diri dari hal-hal ini, kamu berbuat baik. Sekianlah, selamat.” (Kisah Rasul 15:28-29). Dan ayat inipun dicomot begitu saja tanpa pemahaman yang mendalam pula, sebagai pembenaran untuk menyalahkan mereka yang makan “sangsang”, bahkan ada yang melangkah terlalu jauh yang bahkan Kitab Sucipun tak mengatakannya sampai mereka mengatakan bahwa orang yang makan darah akan “masuk Neraka”. Padahal ayat yang dikutip diatas tidak mengatakan apa-apa tentang “Neraka” atau “Sorga” , ataupun tentang “kebinasaan” atau “keselamatan”. Ayat itu hanya mengatakan kalau orang Kristen menjauhkan diri diantaranya “dari darah” yaitu dari “makan darah”, maka “kamu berbuat baik”, bukannya “kamu akan masuk sorga”, atau “kamu akan diselamatkan.”
Ayat-ayat ini adalah kutipan surat keputusan para Rasul sebagai hasil Konsili (Sidang Raya/Sinode Godang) Rasuliah di Yerusalem (Kisah Rasul 15:4,6) karena adanya gangguan di Gereja Antiokhia mengenai masalah harus atau tidaknya orang-orang Kristen non-Yahudi menjadi Yahudi dulu dengan jalan disunat, jika hendak menjadi Kristen (Kisah Rasul 15: 1-2). Jalan tengah yang diambil oleh para Rasul adalah apa yang diputuskan sebagaimana yang tertera dalam isi Surat Keputusan yang kita kutip diatas, yaitu bahwa bangsa-bangsa non-Yahudi tidak usah jadi Yahudi dulu dengan jalan disunat kalau mau jadi Kristen tetapi mereka harus menjaga perasaan umat Yahudi dengan jalan “harus menjauhkan diri dari makanan yang dipersembahkan kepada berhala, dari darah, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari percabulan.” Karena Agama Yahudi sangat menentang penyembahan berhala, padahal orang-orang non-Yahudi yang sekarang jadi Kristen itu pada umumnya adalah mantan penyembah berhala. Juga Perjanjian Lama melarang orang Yahudi makan darah (Imamat 17: 10, 12), padahal orang-orang non Yahudi dalam persembahan mereka kepada berhala melibatkan makanan yang bercampur darah. Disamping itu memakan daging binatang yang mati dicekik (Imamat 17:13), bukannya disembelih sehingga darahnya mengalir keluar, yang menjadi praktek dari banyak budaya non-Yahudi, berarti sama saja dengan makan darah, karena darah binatang itu tetap tersimpan dalam tubuhnya. Juga dalam praktek penyembahan berhala seperti itu biasanya melibatkan semburit bakti (Ulangan 23:18, Roma 1: 23-27) , perzinahan dan pelacuran bakti (Ulangan 23:17-18), sehingga mereka diperintahkan untuk menjauhkan diri dari perzinahan.
Dengan demikian jika orang-orang Kristen non-Yahudi ini melakukan semuanya ini maka mereka tidak menjadi sandungan bagi umat Kristen Yahudi, berarti mereka “berbuat baik” bagi diri mereka sendiri dalam hubungannya dengan umat Yahudi, maupun bagi keutuhan dan kesatuan Gereja. Namun ini tidak ada sangkut-pautnya dengan keselamatan apalagi kalau sampai kita menghakimi orang dengan ancaman “masuk Neraka”. Jika kita mentafsirkan Kitab Suci diluar apa yang Kitab Suci sendiri katakan adalah sama saja dengan kita membuat Talmud baru, dengan demikian kita jadi tidak berbeda dengan para tua-tua Yahudi, yaitu para Rabbi, yaitu orang-orang Farisi dan para Ahli Kitab yangh dikritik Tuhan Yesus itu.
Pemahaman Darah dan Korban dalam Alkitab
Ketika Adam jatuh kedalam dosa dengan melanggar perintah Allah untuk tidak memakan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat karena kematian yang akan ditimbulkannya jika melanggar (Kejadian 2:17), maka “TUHAN Allah mengusir dia dari taman Eden supaya ia mengusahakan tanah dari mana ia diambil. Ia menghalau manusia itu dan di sebelah timur taman Eden ditempatkan-Nyalah beberapa kerub dengan pedang yang bernyala-nyala dan menyambar-nyambar, untuk menjaga jalan ke pohon kehidupan.” (Kejadian 3:23-24). Akibat ketidak-taatannya pada perintah Allah, maka Adam dan Hawa terusir dan terhalau dari taman Eden, dengan demikian mereka terputus hubungan dengan Allah, serta bahwa oleh Allah “ditempatkan-Nyalah beberapa kerub …, untuk menjaga jalan ke pohon kehidupan “ sehingga jalan masuk kepada pohon kehidupan itu buntu, yang berarti Adam dan Hawa telah kehilangan hidup ilahi, yaitu kehilangan hidup kekal. Hilangnya hidup kekal pada manusia ini mengakibatkan kematian pada rohnya, dan kematian roh (Efesus 2:1) ini berakibat pada kematian tubuhnya (Kejadian 3:19). Jadi kematian masuk ke dalam dunia karena adanya dosa ini, sebagaimana dikatakan: ”…. dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga (masuknya) maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa.” (Roma 5:12), serta “Sebab upah dosa ialah maut” (Roma 6:23).
Padahal Allah “tidak berkenan kepada kematian seseorang yang harus ditanggungnya” (Yehezkiel 18:32), sehingga Allah mengatakan:” Apakah Aku berkenan kepada kematian orang fasik? demikianlah firman Tuhan ALLAH. Bukankah kepada pertobatannya supaya ia hidup?” (Yehezkiel 18:23). Sang Pencipta ini adalah “ Allah yang hidup” (Ibrani 10:31), dan Ia menciptakan manusia “menurut gambar dan rupa” Nya (Kejadian 1:26), berarti manusia memang diciptakan bukan untuk mati tetapi untuk hidup. Kematian adalah benalu yang menempel pada kodrat manusia sebagai akibat dosa. Itulah sebabnya Allah berkendak untuk mencongkel benalu itu, dengan janjiNya pada manusia bahwa Ia kan mengirim Juru Selamat, sebagaimana dikatakanNya kepada Iblis didepan Adam dan Hawa: ”Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu (keturunan Iblis adalah para musuh Kristus dari antara para pemimpin Agama Yahudi: Yohanes 8:44, Matius 3:7) dan keturunannya ( “keturunan perempuan” adalah seseorang yang dilahirkan tanpa benih pria, merujuk kepada kelahiran oleh Perawan: Yesus Kristus); keturunannya (Yesus Kristus putera Sang Perawan, keturunan perempuan) akan meremukkan kepalamu (Yesus Kristus mengalahkan Kuasa Iblis , Ibrani 2:14, I Yohanes 3:8) , dan engkau akan meremukkan tumitnya. (merujuk pada penyaliban dimana kaki Yesus dipaku yang digambarkan sebagai tumitNya diremukkan)" (Kejadian 3:15). Melalui penghancuran kuasa Iblis oleh penyaliban Putera Sang Perawan inilah, maka kematian dikalahkan, dan hidup kekal akan dipulihkan pada manusia.
Untuk memberi “tanda” atas Janji keselamatan melalui Korban Kristus inilah maka sebelum Adam diusir dan dihalau dari Taman Eden, Kitab Suci mengatakan: ”Dan TUHAN Allah membuat pakaian dari kulit binatang untuk manusia dan untuk isterinya itu, lalu mengenakannya kepada mereka.” (Kejadian 3:21). Sebelumnya Adam dan Hawa “menyemat daun pohon ara dan membuat cawat “ (Kejadian 3:7), tetapi Allah tak berkenan akan usaha manusia menutupi dirinya sendiri akibat dosa itu. Maka Allah sendiri menyediakan penutup bagi dampak dosa manusia itu, yaitu dengan Allah sendiri membuat “pakaian dari kulit binatang untuk manusia “. Jika ada “pakaian dari kulit binatang “ yang dibuat oleh Allah, berarti ada binatang yang dikorbankan oleh Allah, dengan demikian ada darah tercurah bagi manusia. Padahal Ibrani 9:22 mengatakan: ”Dan hampir segala sesuatu disucikan menurut hukum Taurat dengan darah, dan tanpa penumpahan darah tidak ada pengampunan.” Maka Adampun telah menerima pengampunan dari Allah, meskipun untuk dapat dipulihkan kembali kepada hidup kekal yang telah hilang itu dia harus menunggu sampai datangNya “Keturunan Perempuan” yang dijanjikan itu. Adam dan Hawa meskipun sudah menerima pengampunan, bersama para Nabi dan orang-orang benar dalam Perjanjian Lama lainnya itu: ”tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu… Sebab Allah telah menyediakan sesuatu yang lebih baik bagi kita; tanpa kita mereka tidak dapat sampai kepada kesempurnaan.” (Ibrani 11: 39-40), artinya Adam dan Hawa harus menunggu sampai datangNya Kristus bersama kita yang percaya untuk mendapatkan kembali hidup kekalnya yang telah hilang itu.
Demikianlah sejak zaman Adam itu “darah korban” telah menjadi tanda akan Janji Allah bagi kedatangan Sang “Keturunan Perempuan” yang “diremuk tumitNya” oleh Iblis bagi mengalahkan kuasa Iblis itu sendiri, dimana hidup kekal dipulihkan bagi manusia. Itulah sebabnya ketika “Kain mempersembahkan sebagian dari hasil tanah itu kepada TUHAN sebagai korban persembahan “ (Kejadian 4:3), Kitab Suci mengatakan “tetapi Kain dan korban persembahannya tidak di-indahkan-Nya “ (Kejadian 4:5). Ini dikarenakan korban Kain tak mengandung darah yang tercurah.
Sedangkan ketika “Habel juga mempersembahkan korban persembahan dari anak sulung kambing dombanya, yakni lemak-lemaknya; maka TUHAN mengindahkan Habel dan korban persembahannya itu” (Kejadian 4), karena korban Habel mengandung “darah yang tercurah” sesuai dengan apa yang ditunjukkan Allah kepada Adam. Demikianlah untuk seterusnya korban yang berkenan kepada Allah di dalam Perjanjian Lama itu menyangkut korban binatang dengan tercurahnya darah. Terutama setelah pada zaman Musa dengan didirikannya Kemah Suci (Tabernakel), korban-korban itu makin rinci aturannya (Imamat 1-7). Mengapa darah Kristus yang akan tercurah yang sebelum kedatanganNya itu ditandai dengan korban-korban binatang itu begitu penting? Apa pula hubungannya dengan pemulihan hidup kekal?
Imamat 17: 10-14 mengatakan demikian:
"Setiap orang dari bangsa Israel dan dari orang asing yang tinggal di tengah-tengah mereka, yang makan darah apa pun juga Aku sendiri akan menentang dia dan melenyapkan dia dari tengah-tengah bangsanya. Karena nyawa makhluk ada di dalam darahnya dan Aku telah memberikan darah itu kepadamu di atas mezbah untuk mengadakan pendamaian bagi nyawamu, karena darah mengadakan pendamaian dengan perantaraan nyawa. Itulah sebabnya Aku berfirman kepada orang Israel: Seorang pun di antaramu janganlah makan darah. Demikian juga orang asing yang tinggal di tengah-tengahmu tidak boleh makan darah. Setiap orang dari orang Israel dan dari orang asing yang tinggal di tengah-tengahmu, yang menangkap dalam perburuan seekor binatang atau burung yang boleh dimakan, haruslah mencurahkan darahnya, lalu menimbunnya dengan tanah. Karena darah itulah nyawa segala makhluk. Sebab itu Aku telah berfirman kepada orang Israel: Darah makhluk apa pun janganlah kamu makan, karena darah itulah nyawa segala makhluk: setiap orang yang memakannya haruslah dilenyapkan “
Ayat-ayat diatas itu menunjukkan larangan Allah yang amat keras bagi “bangsa Israel” dan bagi “orang asing yang tinggal di tengah-tengah mereka ”, untuk “makan darah apa pun” dengan diberi ancaman bahwa Allah “sendiri akan menentang dia dan melenyapkan dia dari tengah-tengah bangsanya“. Ada tiga alasan mengapa larangan makan darah bagi Israel dan mereka yang tinggal di tengah-tengah Israel begitu kerasnya. Alasan :
1) Karena nyawa makhluk ada di dalam darahnya
2) Aku telah memberikan darah itu kepadamu di atas mezbah untuk mengadakan pendamaian bagi nyawamu
3) darah mengadakan pendamaian dengan perantaraan nyawa
Berdasarkan keterangan dari ayat-ayat ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa kehidupan atau nyawa makhluk secara jasmani itu terdapat dalam darahnya, karena barangsiapa kehilangan darah pasti dia mati. Dengan demikian darah adalah mewujudkan nyawa atau kehidupan itu sendiri. Ketika Adam dan semua manusia yang lain berdosa, saat itu pula mereka terputus dari sumber kehidupan yaitu Allah, sehingga mereka menerima kematian sebagai upahnya atau hukumannya. Namun Allah adalah Allah yang tidak menghendaki kematian manusia sebagai akibat dosa. Sehingga Allah “telah memberikan darah itu kepadamu di atas mezbah untuk mengadakan pendamaian bagi nyawamu”. Nyawa manusia itu yang seharusnya dihabisi atau dilenyapkan karena dosanya, sehingga manusia itu harus mati. Namun karena Allah tak berkehendak akan kematian manusia, dan dalam kasihNya tak hendak menghukum manusia yang bertobat, maka Dia membuat jalan pendamaian. Jalan pendamaian itu adalah manusia yang bertoibat itu membawa korban kepada Allah, lalu mengakui dosa-dosanya dihadapan Allah, sambil menumpangkan tangannya pada binatang korban. Secara simbolis maka binatang korban itu yang memikul dosa-dosa manusia, dan secara simbolis manusia mengidentikkan kehidupannya yang berdosa dengan binatang korban. Maka ketika binatang korban itu disembelih “diatas mezbah”, berarti diri manusia yang berdosa itu dihukum mati, dan nyawa manusia yang berdosa itu mengalami kematian secara simbolis. Sehingga manusia yang berdosa tadi tak menerima kematian, tetapi menerima kehidupan, tak menerima penghukuman tetapi menerima pendamaian, karena sekarang dirinya diterima Allah kembali. Demikianlah darah atau kehidupam atau nyawa dari binatang korban itu “mengadakan pendamaian bagi nyawamu”. Karena darah itulah kehidupan si binatang itu, maka darah adalah nyawa si binatang korban itu. Dengan dicurahkannya darah binatang atas nama si manusia bertobat tadi, maka “nyawa” binatang sebagai simbol nyawa si manusia bertobat itu, “mengadakan pendamaian perantaraan nyawa”. Jadi darah binatang itu menjadi pemulih kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah. Allah mengadakan pendamaian kepada manusia melalui darah binatang korban. Oleh karena itu darah binatang itu tempatnya bukan diatas piring untuk dimakan, namun di atas mezbah untuk mengadakan pendamaian, Dengan demikian secara eksklusif darah binatang itu haknya Allah, dan sarana Allah untuk memulihkan hubungan manusia dengan DiriNya. Itulah sebabnya adalah suatu hujat dan penghinaaan luar biasa jika pada zaman itu manusia meremehkan cara pendamaian Allah bagi manusia ini, dengan menjadikannya makan biasa. Karena itulah hujat, peremehan, dan penghinaan manusia yang demikian itu diberi ancaman keras dengan mengatakan: ”Darah makhluk apa pun janganlah kamu makan, karena darah itulah nyawa segala makhluk: setiap orang yang memakannya haruslah dilenyapkan“, juga bagi mereka yang makan darah apapun dikatakan” Aku sendiri akan menentang dia dan melenyapkan dia dari tengah-tengah bangsanya.
Namun demikian setelah Kristus datang, Kitab Suci mengatakan bahwa “… Anak Manusia ….. memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (Markus 10:45). Karena itu “Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya” (II Korintus 5:18), sebab Kristus adalah “Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia” (Yohanes 1:29), dan “anak domba Paskah kita juga telah disembelih, yaitu Kristus” (I Korintus 5:7). Jadi sekarang bukan lagi darah kambing atau darah domba yang membuat pendamaian kita dengan Allah, namun “Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya” (Roma 3:25), sehingga “darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa.” (I Yohanes 1:7). Ini disebabkan “…tidak mungkin darah lembu jantan atau darah domba jantan menghapuskan dosa” (Ibrani 10:4), sebab dari awal ketika Allah mencurahkan darah binatang bagi Adam, itupun hanya sebagai tanda akan JanjiNya mengenai kedatangan Sang Juru Selamat. Jadi ketika Juru Selamat itu sudah datang, maka bukan lagi darah bintang yang diperlukan, namun Darah Sang Juru Selamat itu sendiri yang tercurah bagi kita, bagi pendamaian dan penebusan serta keselamatan kita, sehingga kita mendapatkan hidup kebangkitanNya, yaitu hidup kekal. Hal ini dikatakan “darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.” (Matius 26:28).
Jadi kita tak perlu lagi “darah……di atas mezbah untuk mengadakan pendamaian bagi nyawamu” sebagaimana yang dikatakan dalam Perjanjian Lama. Dengan itu pula maka sudah habis masa berlakunya perintah “yang makan darah apa pun juga Aku sendiri akan menentang dia dan melenyapkan dia dari tengah-tengah bangsanya”, serta “Seorang pun di antaramu janganlah makan darah. Demikian juga orang asing yang tinggal di tengah-tengahmu tidak boleh makan darah”, dan “Darah makhluk apa pun janganlah kamu makan”. Sebab larangan-larangan ini terkait dengan tujuan penggunaan darah diatas mezbah bagi pendamaian nyawa manusia di zaman Perjanjian Lama. Sedangkan kita sekarang tidak didamaikan oleh darah binatang diatas mezbah, namun oleh Darah Anak Domba Allah diatas Kayu Salib.
Hal yang Menajiskan dan Membuat kita Tak Masuk kedalam Kerajaan Sorga
Dengan memahami makna larangan makan darah dalam hubungannya dengan darah sebagai alat pendamaian di atas mezbah di zaman Perjanjian Lama, dimana hal itu sudah digenapi di dalam pencurahan darah Yesus Kristus, sehingga larangan itu sudah tak berlaku lagi, maka adalah merupakan hal yang diluar “ruh/semangat dan makna” ajaran Alkitab orang yang mengajarkan bahwa orang yang makan darah akan masuk Neraka. Tak ada satu ayatpun dalam Alkitab yang mengatakan demikian. Jika benar karena makan darah binatang orang bisa masuk Neraka, maka berarti Darah Yesus yang menebus kita itu kalah dengan darah binatang, dan ini adalah hujat terhadap kasih-karunia Allah. Tak ada satu hukum ritual apapun yang dapat membuat kita masuk Neraka. Menurut Alkitab yang membuat kita masuk Neraka adalah sikap moral kita bukan upacara-upacara lahiriah seperti tidak makan ini atau tidak makan itu.
Dikatakan oleh Sang Kristus Yesus sendiri demikian: ”Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskannya, karena bukan masuk ke dalam hati tetapi ke dalam perutnya, lalu dibuang di jamban?" Dengan demikian Ia menyatakan semua makanan halal ….sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang.” (Markus 7:21-23). Jadi menurut Sang Kristus tidak ada satu makananpun yang menajiskan orang, semuanya halal. Yang menajiskan itu justru semua kejahatan yang keluar dari dalam hati.
Bukan itu saja, semua pikiran jahat yang keluar dari hati, bahkan menjerumuskan orang ke dalam Neraka, kalau dia tidak bertobat, sebagaimana dikatakan: ”Perbuatan daging telah nyata, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah,kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya. Terhadap semuanya itu kuperingatkan kamu -- seperti yang telah kubuat dahulu -- bahwa barangsiapa melakukan hal-hal yang demikian, ia tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.” (Galatia 5: 19- 21). Ditambah lagi: ”Atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? Janganlah sesat! Orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci [3], orang pemburit [4], pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.” (I Korintus 6:-10)
Jadi menurut Alkitab justru sikap moral yang jahat akibat ketiadaan pertobatan dan ketiadaan pembaharuan rohani dalam hidup seseorang sehingga mereka tak beriman kepada Kristus dan dengan demikian darah Kristus tak bermanfaat bagi mereka, inilah yang membuat orang “tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.” Namun tak ada satupun ayat Kitab Suci yang mengatakan bahwa orang yang makan darah itu akan masuk Neraka atau tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. Memang lebih mudah untuk menghentikan sikap luar secara ritual misalnya tidak merokok [5], tidak makan darah [6], tidak pakai lipstik dan lain-lain, daripada mengadakan pembaharuan batin secara total, yaitu pertobatan, misalnya menghentikan kesombongan, iri hati, kecongkakan, kikir dan lain-lain. Namun kesalehan lahiriah semacam itu tak bermakna apapun jika tak disertai dengan pembaharuan batin dalam sikap pertobatan yang terus-menerus. Padahal justru inilah yang menetukan diterima atau tidaknya seseorang di dalam Kerajaan Allah.
Makna Kisah Rasul 15
Sekarang sampailah kita kepada pembahasan ayat yang menjadi landasan bagi diajarkannya larangan makan darah,m dengan ancaman masuk neraka, oleh sebagian orang Kristen itu. Ayat itu terdapat dalam Kisah Rasul 15:1-21, terutama dalam Kisah 15:20.
Konteks Kisah 15:20 dalam keseluruhan perikop Kisah 15 itu adalah demikian:
Di kota Antiokhia –Syria kedatangan tamu orang-orang Kristen Yahudi dari Yudea, Yerusalem. Mereka mengajarkan: "Jikalau kamu tidak disunat menurut adat istiadat yang diwariskan oleh Musa, kamu tidak dapat diselamatkan." (Kisah 15:1). Jadi permasalah pokok adalah, yang menyelamatkan itu ”Hukum Musa” yang disini diwakili oleh perintah untuk Sunat, ataukah Kematian dan Kebangkitan Yesus Kristus yang memberikan penebusan? Karena itu ajaran ini dilawan oleh Paulus dan Barnabas (Kisah Rasul 15:2). Jadi konteks permasalahan dalam Kisah Rasul ini justru bukan masalah “makan darah”, namun masalah Sunat, yaitu kontras antara Taurat dan Rahmat. Namun karena masalah ajaran Iman itu bukan terserah kepada kehendak perorangan, tetapi milik seluruh Gereja secara bersama, maka pemecahannyapun harus dilakukan secara bersama melalui Sidang Gereja atau Konsili. Sehingga Paulus dan Barnabas diutus oleh Gereja Antiokhia untuk menemui para Rasul dan para Penatua (para Presbyter) membahas masalah itu. (Kisah 15: 3-4). Di Yerusalem mereka bertemu orang-orang yang mempunyai theologia yang sama dengan mereka yang mengganggu orang Kristen di Antiokhia. Mereka ini adalah “golongan Farisi, yang telah menjadi percaya” (Kisah Rasul 15:5), yang mengajarkan : "Orang-orang bukan Yahudi harus disunat dan diwajibkan untuk menuruti hukum Musa.”. Sekali lagi konteks Kisah Rasul 15 ini bukanlah mengenai masalah “makan darah”, namun mengenai perlu atau tidaknya Sunat.
Lalu diadakanlah Sidang para Rasul dan para Penatua (Kisah Rasul 15:6), serta diadakan “tukar pikiran “ yang lama sekali (Kisah 15:7). Lalu Petrus sebagai ketua kolega para Rasul memberi kesaksian, bagaimana Kornelius tanpa disunat percaya kepada Kristus dan menerima Roh Kudus (Kisah Rasul 15:7-11). Kemudian disusul oleh Paulus dan Barnabas memberi kesaksian bagaimana bangsa-bangsa bukan Yahudi percaya tanpa harus disunat dengahn disertai mukjizat-mukjizat (Kisah Rasul 15:212), Kemudian disimpulkan oleh Yakobus sebagai Episkop (Uskup) pertama dari Gereja Yerusalem bahwa memang bangsa-bangsa lain tak perlu disunat, tetapi untuk menjembatani jurang pemisah antara mereka dengan umat Yahudi, maka Sidang itu harus menulis surat kepada mereka dengan memberi tahu mereka supaya mereka “menjauhkan diri dari makanan yang telah dicemarkan berhala-berhala, dari percabulan, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari darah.” (Kisah Rasul 15:20), serta “kamu harus menjauhkan diri dari makanan yang dipersembahkan kepada berhala, dari darah, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari percabulan. Jikalau kamu memelihara diri dari hal-hal ini, kamu berbuat baik. Sekianlah, selamat.” (Kisah Rasul 15:29). Jadi jelas menurut konteksnya larangan “makan darah” itu bahkan bukan tema utama dari Sidang para Rasul itu. Itu hanya merupakan jalan pemecahan dari masalah utama yang menjadi ketegangan antara orang Kristen Yahudi –dimana mereka mengizinkan orang non-Yahudi untuk tidak disunat--, dan orang Kristen non-Yahudi –yang sebaliknya diminta untuk memberikan timbal balik atas kerelaan Yahudi ini dengan kerelaan melakukan hal-hal yang menjadi masalah bagi orang Yahudi, diantaranya adalah “makan darah”. Jadi larangan “makan darah” itu bukan inti pembahasan Sidang Para Rasul, dan bukan pula pesan utama Kisah Rasul 15 ini. Bahkan itupun bukan disebutkan yang pertama dalam daftar jalan tengah yang harus diambil orang-orang Kristen non-Yahudi ini. Yang didaftar pertama justru “menjauhkan diri dari makanan yang dipersembahkan kepada berhala”, malah pada saat rapat, Yakobus menyebutnya dalam dafatar paling akhir. Dengan demikian makna penting dari Sidang ini bukanlah masalah makan darah itu, tetapi masalah hubungan Sunat dan Iman, Taurat dan Rahmat.
“Ruh/Semangat dan Makna” dari Kisah Rasul 15 ini bukanlah tentang makanan, dan bukanlah masalah boleh tidaknya darah dimakan, namun masalah bagaimana orang-orang Kristen non-Yahudi itu bisa diterima oleh orang-orang Kristen non-Yahudi tanpa memaksakan adat-istiadat Yahudi kepada mereka. Jika kita mengerti “ruh” dari Kisah Rasul 15 maka tak mungkin kita memberi tekanan mengenai apa yang tak ditekankan oleh Kitab Suci itu. Kita tak bisa membuat Talmud kita sendiri sehingga bertentangan dengan tujuan dan makna dari pasal yang kita bahas ini. Kisah Rasul 15 sama sekali tidak mengatakan bahwa semua orang Kristen tidak boleh makan darah, dan yang makan darah masuk Neraka, tetapi itu adalah menjelaskan tentang jalan pemecahan bagi permasalahan yang muncul dalam Gereja Antiokhia, Sejauh Kitab Kisah Rasul 15 ini yang kita baca, baik secara terang-terangan maupun secara tersembunyi tak ada ajaran yang menekankan masalah makanan, atau yang menekankan bahwa yang makan darah masuk Neraka seperti itu. Tafsiran yang demikian adalah mengada-ada, tak ditunjang oleh pasal yang ada, serta bukan merupakan inti dan isi utama darai pasal yang bersangkutan.
Ajaran Kitab Suci tentang Makanan
Dalam Imamat 11 dan Ulangan 14:1-21 bangsa Israel diberi aturan oleh Allah melalui Nabi Musa mengenai makanan yang “kosher” (halal) dan yang “trefah” (haram). Terutama dalam Imamat 11, perintah ini diberikan sebagai bentuk pengudusan bangsa Israel supaya tidak terjadi interaksi sosial dengan bangsa-bangsa penyembah berhala yang ada disekitar mereka, sehingga mereka tidak terkontaminasi. Karena bangsa Israel adalah bangsa pilihan yang melalui mereka Mesias akan datang. Sehingga Israel dikurung dan dikawal oleh perintah ini sampai Kristus datang, sebagaimana dikatakan: ”Sebelum iman itu datang kita berada di bawah pengawalan hukum Taurat, dan dikurung sampai iman itu telah dinyatakan. Jadi hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus datang, supaya kita dibenarkan karena iman. Sekarang iman itu telah datang, karena itu kita tidak berada lagi di bawah pengawasan penuntun” (Galatia 3:23-25).
Karena kita orang Kristen bukan bangsa Israel yang hidup dalam “pengawalan hukum Taurat,” serta “kita tidak berada lagi di bawah pengawasan penuntun” dan tidak “dikurung”, karena Iman itu telah datang, maka kita tak lagi dibawah aturan “kosher” dan “trefah” mengenai masalah makanan itu. Bahkan Kitab Suci mengatakan bahwa “Dengan demikian Ia (Yesus Kristus) menyatakan semua makanan halal.” (Markus 7:19). Sebab Yesus Kristus datang untuk menyatakan Kerajaan Allah, dimana “Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus.” (Roma 14:17). Oleh karena itu kita diingatkan agar kita tak membuat sandungan bagi orang lain masalah makanan, sebagaimana dikatakan: "Makanan tidak membawa kita lebih dekat kepada Allah. Kita tidak rugi apa-apa, kalau tidak kita makan dan kita tidak untung apa-apa, kalau kita makan." Tetapi jagalah, supaya kebebasanmu ini jangan menjadi batu sandungan bagi mereka yang lemah.” (I Korintus 8:8-9). Karena pada dirinya sendiri tidak ada makan itu yang najis: ”Aku tahu dan yakin dalam Tuhan Yesus, bahwa tidak ada sesuatu yang najis dari dirinya sendiri. Hanya bagi orang yang beranggapan, bahwa sesuatu adalah najis, bagi orang itulah sesuatu itu najis.” (Roma 14:14). Juga dikatakan: ”Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apa pun.” (I Korintus 6:12). Dengan demikian prinsip Injil dalam hal makanan adalah bahwa sebenarnya tak ada sesuatu yang najis pada dirinya sendiri, dan bahwa semua makanan itu halal. Namun dalam kita makan kita diperintahkan untuk memikirkan hati nurani orang lain, apakah orang itu tersandung kalau kita makan atau tidak, Apakah orang itu akan murtad karena sikap kita yang tidak peka dalam makanan dan dalam memakan atau tidak. Juga apakah makanan itu berguna untuk kita atau tidak. Jikalau tak berguna karena mengganggu kesehatan, karena tidak memberi manfaat, atau karena kita menjadi kecanduan secara tidak sehat, maka kita harus menjauhi makan semacam itu. Jadi Injil tak mengajarkan kita hukum positif tentang apa yang harus kita makan, dan bagaimana cara kita makan, namun memberi prinsip berguna tidaknya makanan itu, membawa berkat atau tidaknya bagi orang lain, apa yang kita makan itu, serta hati-nurani orang lain yang menjadi tolok ukur dalam kita memakan.
Karena itulah membuat makan darah sebagai ancaman masuk Neraka itu justru bukan semangat Injil yang diberitakan. Memang hukum Kanon Gereja Orthodox melarang orang makan darah, tetapi alasannya bukan karena darah itu najis atau “haram”, dan juga bukan karena itu membuat orang masuk neraka, namun karena itu sebagai penghormatan dan ketaatan kepada suara Roh Kudus melalui para Rasul (Kisah 15:28-29) yang pada zaman purba telah menggunakan perintah tadi sebagai sarana persatuan Gereja Yahudi dan non-Yahudi. Dan itu juga sebagai pernghormatan kepada simbol dari darah Yesus Kristus sendiri yang melaluinya keselamatan itu datang, tidak lebih dan tidak kurang. Amin.
[1] “TANAKH” adalah sebutan bagi Perjanjian Lama dikalangan Yahudi. Karena mereka tidak percaya pada Perjanjian Baru, karena mereka tidak percaya bahwa Yesus itu adalah Ha-Massiah, Messias, atau Al-Masih Sang Penyelamat, maka Kitab mereka tidak disebut sebagai Perjanjian Lama tetapi sebagai “TANAKH”. Dan kata ini berasal dari singkatan: TA=TORAH/Taurat yaitu Kelima Kitab Musa, NA=NEBIIM/Nabi-Nabi yaitu Kitab para Nabi misalnya Yesaya , Yeremia dan sebagainya, KH=KHETUBIM/Tulisan-Tulisan, yaitu Kitab-Kitab puisi dalam Alkitab misalnya Ayub, Mazmur, Amsal, Pengkhotbah, dan Kitab-Kitab Sejarah, misalnya Raja-Raja. Bandingkan dengan Sabda Sang Kristus yang menyebut “Kitab Suci” (Lukas 24 :45), sebagai terdiri dari “kitab Taurat Musa dan kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur” (Lukas 24:44), juga yang mengatakan bahwa “seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi” (Lukas 24:27)
[2] Makan darah ini mempunyai variasi dalam beberapa budaya Indonesia, di Bali orang mengenal “lawar” yaitu darah babi yang dimasak dan dicampur dengan sayur, di Jawa Tengah orang mengenal “saren” yaitu darah lembu / darah kambing / darah ayam yang dibekukan dan kemudian digoreng seperti tahu/tempe atau dimasak dengan bahan makanan lainnya. Apa yang disebut “saren” ini di Jawa Timur disebut sebagai “dhedheh” atau “dhidheh”. Di Korea juga orang mengenal hal yang sama, yang disebut sebagai “yuk gye jang”.
[3] Bahasa asli dari kata “banci” ini adalah “malakoi” --orang yang lemah-gemulai, orang yang lembut--, ini menunjuk kepada laki-laki pelaku “semburit bakti” yang ada di kuil-kuil berhala (Ulangan 23:17-18) yang menjual dirinya untuk dipakai dalam upacara agama penyembahan berhala itu.
[4] Bahasa asli dari kata “pemburit” ini adalah “arsenokoitai” ( arsen = laki-laki, koitai = seketiduran), yang menunjuk pada pelanggan kaum “semburit bakti” yang ada dalam kuil berhala yang dilarang dalam Ulangan 23:17-18 itu.
[5] Penulis sendiri juga tidak merokok dan menganjurkan agar orang-orang Kristen juga tidak merokok.
[6] Penulis sendiri juga tidak suka makan darah. Namun dasarnya bukan karena takut masuk Neraka kalau makan.
Langganan:
Postingan (Atom)