Kamis, 05 September 2013

Menyembah dalam Roh dan Berbahasa Roh?


Oleh : Arkhimandrit Rm. Daniel Byantoro

Di dalam Yohanes 4: 23-24 Yesus mengajarkan demikian: ”Tetapi saatnya akan datang DAN SUDAH TIBA SEKARANG, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam Roh dan Kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian. Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembahNya dalam Roh dan Kebenaran”.

Di sekitar kita ada banyak sekali orang yang mentafsirkan hal ini dengan bahasa roh, yaitu berdoa menggunakan bahasa roh dengan emosi yang meledak-ledak. Bahwa bahasa roh itu tak ada kaitannya dengan “menyembah dalam Roh dan Kebenaran” itu dapat dijelaskan demikian. Pertama, bahasa roh itu baru muncul sesudah Yesus naik ke sorga, dan Roh Kudus pertama kali dicurahkan pada Hari Pentakosta ( Kisah 2:1-4). Padahal menurut Yesus “menyembah Allah dalam Roh dan Kebenaran” itu bukan hanya “akan datang” saatnya namun juga “sudah tiba sekarang” ( Yohanes 4:23). Berarti menyembah dalam “Roh dan Kebenaran” itu sudah tiba saatnya “sekarang”, yaitu ketika Yesus sedang berbicara dengan wanita Samaria itu. Padahal saat itu belum ada bahasa roh. Dan konteksnya Yohanes 4 itu tidak sedang membicarakan karunia-karunia Roh apalagi bahasa-roh. Kedua, jika menyembah dalam “Roh dan Kebenaran” itu dikaitkan dengan I Kor. 14:14: ”…jika aku berdoa dengan bahasa roh, maka rohkulah yang berdoa…..Aku akan berdoa dengan rohku, tetapi aku juga akan berdoa dengan akal-budiku” , itupun tidak tepat. Sebab pada waktu Yesus mengatakan menyembah dalam Roh itu kontrasnya menyembah menurut tulisan hukum Taurat di Gunung Gerizim atau di Yerusalem ( Yohanes 4:21). Dan jikalau Alkitab mengkontraskan Taurat dengan Roh, itu pasti yang dimaksud adalah “Roh Kudus “ ( II Kor. 3: 6). Padahal menurut I Kor. 14:14-15 itu berdoa dengan bahasa roh maka ‘rohKU’ yang berdoa, yaitu roh manusia. Yesus memerintah menyembah Allah bukan dalam roh manusia, namun dalam Roh Kudus. Padahal menurut I Kor. 14:14 bahasa roh itu doanya roh manusia. Roh manusia itu beda dengan Roh Kudus ( I Kor. 2:11, Roma 8:16).

Jadi I Kor. 14:14-15 itu tak terkait dengan Yohanes 4:23-24 dalam muatan isinya. Dengan demikian menyembah dalam Roh itu artinya bukan berdoa dengan bahasa-roh, apalagi kalau dilakukan beramai-ramai, yang oleh Kitab Suci dikatakan jangan sampai nanti dikatakan orang luar atau orang yang tak percaya sebagai “gila” itu ( I Kor. 14:23). Menyembah dalam Roh dan Kebenaran adalah menyembah dalam tuntunan Roh, dalam kekudusan, dalam kerendahan hati, dalam keteduhan, dalam kekhusyukan dan dalam takut dan gentar akan Allah, serta dalam panunggalan dengan Kristus: Sang Kebenaran itu sendiri ( Yohanes 14:6), melalui tertib-terib ibadah yang telah diilhami Roh Kudus itu, selama dua ribu tahun ini dalam GerejaNya yang Rasuliah itu.

Untuk itu marilah kita selidiki apa sebenarnya menurut Alkitab glosolalia (bahasa lidah, bahasa roh) itu. Menurut keyakinan para penghayat pentafsiran akan kharismata, bahasa roh terjadi apabila Roh Kudus mengambil alih lidah orang yang menerima “bahasa roh.” Meskipun orang itu tak mengerti apa yang dikatakan. Hal itu didefinisikan bahwa bahasa roh adalah bentuk doa yang lebih sempurna dimana melalui bahasa itu Roh Kudus berbicara kepada Sang Bapa (I Kor 14:2) melalui bahasa glosolali yang tidak dimengerti (Roma 8:26). Ada yang mengajarkan bahwa ada dua bentuk bahasa lidah. Dalam bentuk yang paling umum, seseorang berdoa dalam bahasa doanya secara pribadi melalui dorongan dari Roh Kudus. Bahkan sampai ada yang mengatakan, meskipun tanpa bukti Alkitab, bahwa doa dalam bahasa-roh ini adalah doa yang begitu rahasia sampai setan-setanpun takut dan tak mengerti artinya. Sebagian orang membuat bahasa lidah menjadi hal yang sangat diagungkan, dan hampir mendekati pendewaan. Dan bentuk yang sangat ekstrim mengatakan bahwa tanpa bahasa lidah orang tak memiliki Roh Kudus, dan akibatnya orang tak bisa diselamatkan. Tentu saja ini ajaran yang tak berdasar, sebab Alkitab tak pernah mengatakan demikian. Bahasa lidah itu hanya salah satu saja dari karunia-karunia Roh Kudus, jadi bukan Roh Kudus itu sendiri. Dan keselamatan terjadi bukan karena salah satu karunia Roh Kudus, apalagi bahasa lidah, karena keselamatan itu terjadi oleh karya penyaliban, kematian dan kebangkitan Kristus. Bentuk yang kedua dari bahasa lidah ini menurut mereka yang percaya pentafsiran yang demikian tadi adalah Roh Kudus menggunakan seseorang untuk menyampaikan suatu berita pada umat percaya melalui orang kedua yang memiliki karunia untuk mentafsirkan bahasa roh tadi.

Ada lagi orang yang memperkembangkan teori lain, entah atas dasar apa, bahwa bahasa roh itu mempunyai dua bentuk. Bentuk yang satu bahasa roh sebagai “karunia” dan satunya lagi bahasa roh sebagai “tanda”. Suatu perbedaan yang dasar Alkitabnya tak jelas. Karena dengan namanya sebagai karunia bahasa roh yang dipercayai dari Roh Suci itu saja sudah cukup menunjukkan bahwa itu adalah karunia, meskipun seandainya bahasa roh itu betul berfungsi sebagai tanda, seperti yang dikatakan itu, namun itu tanda yang diberikan oleh Roh Kudus, berarti itu masih karunia juga. Jadi pembedaan seperti itu memang tak dapat dipertahankan secara Alkitab. I Kor 14:22 hanya menyebut bahasa-bahasa roh tanda untuk orang-orang tak beriman bukan untuk orang beriman. Para pengajar mereka mendasarkan penekanan pada glosolalia atas beberapa nats Perjanjian Baru yang menunjukkan disebutnya “bahasa roh”. Di dalam Kisah Rasul dinyatakan ada 4 peristiwa bahasa roh ini, jika Kisah Rasul 8:14-18 dimasukkan didalamnya meskipun kata dan peristiwa bahasa roh itu tak disebut disana. Sedangkan nats-nats yang lain adalah Kis. 2:1-4, 10:44-46, 19:1-6. Dalam nats pertama yang paling terkenal (Kis.2:1-4), Roh Kudus turun keatas para rasul pada hari Pentekosta dan mereka “mulai berkata dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya.” (Kis.2:4). Sebagai akibatnya banyak orang dari berbagai bangsa, yang telah berkumpul di Yerusalem “mendengar rasul-rasul itu berkata-kata dalam bahasa mereka sendiri.” (Kis.2:6). Mujizat yang ada disini bukanlah bahasa roh yang “tidak seorangpun yang mengerti bahasanya” I Kor 14:2), karena jelas diterangkan bahwa “mereka berkata-kata dalam bahasa (Yun. dialektoo = dialek, logat) kita sendiri, yaitu bahasa yang kita pakai di negeri asal kita.” (Kis 2:8). Bahasa ini bukanlah bahasa yang tidak dimengerti seperti yang diajarkan oleh para pentafsir yang demikian itu, dan ini berbeda dengan apa yang disebutkan Paulus dalam I Kor 14:2. Mujizat disini adalah mujizat dialek atau logat, bukan mujizat bahasa yang tidak diketahui. Jadi mendasarkan penekanan bahasa roh atas pasal ini justru bukan ditunjang malah ditolak oleh data nats itu sendiri.

Menurut tradisi rasuliah yang diberitakan Gereja sebagaimana yang terpancar dari kidung-kidung pesta perayaan hari Pentakosta, bahasa-bahasa pada hari Pentakosta (yang jelas bukan bahasa roh, namun logat atau dialek) adalah pernyataan dari universalitas Injil dan kesatuan manusia melalui Roh Kudus. Dosa di Menara Babel telah membuat perpecahan melalui kekacauan bahasa-bahasa, tetapi Roh Kudus membawa semua manusia bersama kedalam kesatuan melalui Injil Kristus pada hari Pentakosta.

Jadi, jelaslah apapun yang hendak dipertahankan oleh sebagian orang mengenai Kis. 2:1-4 ini, menurut Alkitab itu sendiri, bahasa-bahasa pada hari Pentakosta itu adalah bahasa manusia yang nyata diberikan kepada para rasul dengan maksud untuk menyampaikan Injil, bukan “bahasa yang tak diketahui” dari glosolali. Di dalam nats-nats yang lain dalam Kisah Rasul kita melihat bukannya suatu pengajaran mengenai pentingnya bahasa roh yang diketengahkan, namun masing-masing itu adalah suatu penyataan-penyebaran Gereja oleh kuasa Roh Kudus,kepada bermacam-macam kelompok manusia (Samaria: setengah Yahudi dan setengah kafir dalam Kisah 8:14-18, Kafir Romawi; keluarga Kornelius orang Itali dalam Kisah 10, dan murid-murid Yohanes : setengah Yahudi dan hampir Kristen dalam Kisah 19:1-5) serta merupakan refleksi dari Pentakosta yang asli di Yerusalem untuk menunjukkan bahwa keselamatan itu untuk semua bangsa. Itulah sebabnya Petrus mengatakan bahwa pengalaman di rumah Kornelius itu adalah “sama seperti dahulu ke atas kita” dan bahwa “Allah memberikan karuniaNya kepada mereka sama seperti kepada kita pada waktu kita mulai percaya kepada Yesus Kristus “ ( Kisah 11:15, 17), yaitu peristiwa Pentakosta di Yerusalem.

Tujuan dari semua ini adalah merupakan campur tangan Allah untuk mendobrak kesempitan cara pandang bangsa Yahudi biarpun yang sudah Kristen yang menganggap bahwa keselamatan itu hanya bagi mereka saja, karena orang -orang Kristen Yahudi itu sendiri mengakui “betapa kerasnya larangan bagi seorang Yahudi untuk bergaul dengan orang-orang yang bukan Yahudi atau masuk ke rumah mereka” ( Kis 10:28) sehingga ketika Petrus memaksakan diri oleh perintah Roh Kudus “orang-orang dari golongan bersunat berselisih pendapat dengan dia. Kata mereka : “Engkau masuk ke rumah orang-orang yang tidak bersunat dan makan bersama-sama mereka” (Kisah 11:2). Hanya oleh campur tangan Allah secara langsung dengan mengirimkan karunianya yang sama seperti pada orang Yahudi sajalah maka mereka dapat sadar bahwa “Allah tidak membedakan orang, setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepadaNya” ( Kisah 10:34-35), sehingga dengan itu mereka dapat menerima orang-orang yang bukan Yahudi ke dalam Gereja dengan “menyuruh mereka dibaptis dalan Nama Yesus Kristus “ ( Kisah 10:48).


Maka oleh kuasa Roh Kudus tersebarlah dan berdirilah Gereja non-Yahudi yang pertama, sebagaimana oleh kuasa Roh Kudus yang sama Gereja Yahudi telah didirikan di Yerusalem. Demikian juga untuk murid-murid Yohanes yang belum Kristen dalam Kisah 19:1-5. Karena mereka belum dibaptis secara Kristen yaitu dibaptis dalam Nama Tuhan Yesus, maka mereka belum menerima Roh Kudus. Maka mereka dibaptiskan dalam Nama Tuhan Yesus yaitu dibaptiskan secara Kristen, bukan baptisan Yahudi yang mereka terima dari Yohanes, sehingga mereka dimasukkan dalam pelukan Gereja dan menerima Roh Kudus. Jadi jelaslah kalau begitu peristiwa yang terjadi dalan Kisah Rasul itu sama sekali bukan perintah agar orang mendapatkan bahasa roh dan bukan pula suatu contoh berkat-berkat pribadi bahasa roh, namun lebih benar lagi sebagai penegakkan Gereja di luar dunia Yahudi. Dan patut dicatat bahwa dalam banyak contoh Alkitab, orang-orang yang dipenuhi Roh Kudus tidak selalu berbicara dalam bahasa roh ( Kisah 8:14-18, 4:8, 31; 7:55-56).Di balik penekanan yang begitu dipentingkan pada glosolali yang dilakukan oleh para pentafsir yang menekankan kharismata itu, fenomena ini tidak dapat dijumpai dimanapun dalam seluruh Alkitab, kecuali apa yang dikatakan oleh rasul Paulus mengenai bahasa roh yang ada dalam I Korintus 12:10, 28-30, dan terutama dalam I Korintus 14. Itupun harus diingat dan ditegaskan bahwa berbeda dengan Kisah Rasul dimana bahasanya dapat dimengerti serta dikaitkan dengan berdirinya Gereja, dalam I Korintus ini bahasa-bahasa itu tidak dapat dimengerti serta bukan dikaitkan dengan berdirinya Gereja namun sebagai karunia dalam Gereja dan hanya diberikan kepada “beberapa orang” saja dalam Gereja atau jemaat ( I Kor 12:28). Jadi menggabungkan dan mengacaukan data Kisah rasul dan I Korintus 12 dan 14 seolah-olah keduanya itu hal yang sama adalah suatu kesalahan yang besar yang bertentangan dengan berita Alkitab itu sendiri.Beberapa orang mengutip janji Kristus dalam Markus 16:17, bahwa mereka yang percaya akan “berbicara dalam bahasa yang baru,” sebagai suatu dukungan dari pandangan mereka akan bahasa roh. Namun demikian, nats ini sebenarnya tidak berbicara mengenai glosolali sebagaimana yang dipraktekkan masakini.

Didalam konteks Alkitabiah yang semestinya, ayat ini menunjukkan kepada tugas para rasul untuk mengabarkan Injil kepada semua manusia dari segala bangsa, budaya dan bahasa. Orang-orang Kristen mula-mula itu berbicara dalam bahasa Aramia atau Yunani. Dalam ayat 15 dan 16 v Kristus memerintahkan agar para muridNya mengabarkan Injil kepada segala makhluk dan menjadikan orang yang percaya dan dibaptis itulah yang akan diselamatkan. Untuk mencapai tujuan dari perintah tadi Kristus menjanjikan penyertaanNya (Matius 28:20), yang ditandai dengan kuasa dan sarana untuk mencapai para bangsa tadi. Kuasa-kuasa tadi diberikan dalam bentuk : kuasa mengusir setan, memegang ular tanpa bahaya, minum racun maut tanpa mengalami kecelakaan, menyembuhkan orang dengan jalan meletakkan tangan pada orang sakit.


Inilah tanda yang menyertai orang percaya dalam konteks pengutusanNya tadi sebagai bukti Tuhan menyertai pengutusanNya. Sedangkan sarana untuk mencapai segala bangsa ( segala makhluk) yang berbudaya dan berbahasa macam-macam itu adalah kemampuan yang akan diberikan mengunakan bahasa-bahasa baru bagi mereka, yaitu bahasa yang bukan bahasa Arami atau pun bahasa Yunani. Sejak saat itulah seperti yang telah dimulai oleh para rasul pada hari Pentakosta dimana mereka berbicara dalam dialek dan logat yang bermacam-macam yang merupakan bahasa baru bagi orang-orang Galilea ini, Gereja telah menyebarkan Injil dalam sarana bahasa yang baru yang bukan termasuk bahasa asli mereka : Aramia dan Yunani. Kini orang Kristen (orang percaya) berbicara, berkotbah, berdoa dan menyembah dengan menggunakan banyak bahasa yang tak diketahui oleh orang-orang Kristen mula-mula, dan inilah bahasa-bahasa yang baru tadi. Sungguhlah orang-orang percaya ( orang-orang Kristen) telah berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru yang bukan bahasa Aramia dan Yunani seperti orang Kristen mula-mula. Itulah tanda bagi orang percaya sebagai pemenuhan dari janji universalitas Injil untuk segala makhluk, yang diperintahkan Kristus untuk disebarkan tadi. Disamping itu praktek penggunaan bahasa roh tadi, sudah melanggar dari apa yang dijelaskan oleh Kitab Suci. Menurut Kitab Suci bahasa roh itu tak boleh digunakan secara beramai-ramai karena nanti akan dikatakan sebagai orang “gila” ( I Kor. 14: 23) oleh orang luar.

Demikian juga Paulus di dalam ibadah Gereja tidak mau menggunakan bahasa-roh itu, meskipun ia berkata-kata dengan bahasa roh lebih dari semua orang Kristen lain. Namun dalam pertemuan jemaat lebih baik ia menggunakan hanya lima kata yang dimengerti bagi orang lain. ( I Kor. 14:18-19). Penggunaan bahasa roh itu juga dibatasi “ dua atau sebanyak-banyaknya tiga orang” bukan satu Gereja ribuan orang beramai-ramai, itupun harus “seorang demi seorang” bukan berbarengan seperti suara lebah seribu, dan “harus ada orang lain yang mentafsirkan” bukan asal dibunyikan”. Jika tak ada yang mentafsir harus “berdiam diri” dalam Gereja (I Kor. 14:27-28). Jadi ibadah menurut I Korintus 14 itu adalah ibadah yang teduh, khusyuk, bukan ribut dan penuh teriakan ataupun sorakan. Sorak-sorai yang dikatakan dalam Mazmur-Mazmur itu dilakukan di luar Bait Allah bukan pada saat ibadah dalam Bait Allah itu sendiri. Dan kata “bersoraklah bagi Tuhan” dalam Efesus 5:19, itu bahasa aslinya adalah “bersenandunglah”. Jadi umat Orthodox memang diizinkan bersorak, bertepuk tangan, menari untuk memuji Tuhan namun itu bukan dalam konteks tertib ibadah itu sendiri. Itu dilakukan disekitar Gereja pada saat perayaan-perayaan tertentu. Dengan demikian tak ada perintah untuk menyembah dalam roh dengan berteriak ataupun berbahasa roh dalam Kitab Suci, yang ada malah larangannya.

Kesimpulan dari pengajaran Rm. Daniel di atas :
Mengenai karunia bahasa roh (perhatikan dengan "r" kecil karena itu adalah bahasa roh manusia, bukan bahasa Roh Kudus, kita buktikan di uraian bawah nanti) dalam era modern maka:

1) Gereja Orthodox tidak menyangkal bahwa dalam Kitab Suci mencantumkan salah satu karunia Roh Kudus adalah berbahasa roh.

2) Dalam era modern ini patut diuji kembali secara ketat, apakah klaim "bahasa roh" oleh kaum Kharismatik itu adalah bahasa roh yang asli?

3) Adakah jika bahasa roh (karunia Roh Kudus) itu asli maka tidak mungkin bertentangan dengan aturan Kitab Suci dalam 1Kor 14:27-28 yang diinspirasikan oleh Roh Kudus sendiri? Bukankah terdapat aturan dalam berbahasa roh yaitu paling banyak tiga orang? Sedangkan pada era modern semua umat berbahasa roh secara ramai-ramai dan tidak jelas...

1Kor 14:27-28
27. Jika ada yang berkata-kata dengan bahasa roh, biarlah dua atau sebanyak-banyaknya tiga orang, seorang demi seorang, dan harus ada seorang lain untuk menafsirkannya.
28. Jika tidak ada orang yang dapat menafsirkannya, hendaklah mereka berdiam diri dalam pertemuan Jemaat dan hanya boleh berkata-kata kepada dirinya sendiri dan kepada Allah.

4) Bahasa roh adalah roh manusia yang berbicara (bukan Roh Kudus yang berbicara), Kitab Suci menyatakan sebagai berikut:

1Kor 14:14
14. Sebab jika aku berdoa dengan bahasa roh, maka rohkulah yang berdoa, tetapi akal budiku tidak turut berdoa.

Lihatlah pernyataan Rasul Paulus, jika Rasul Paulus berdoa dengan bahasa roh maka "rohkulah yang berdoa" bukan "Roh Kuduslah yang berdoa"



3 komentar:

  1. Setuju....
    Tuhan Yesus memberkati kita semua.

    BalasHapus
  2. Izin share (copy paste) ya admin..

    BalasHapus
  3. Romo yang saya hormati, maafkan saya, lewat blog ini saya mau bertanya, bagaimana pangdangan Gereja untuk pernikahan yang sudah dilakukan secara ritual adat, apakah bisa diteguhkan dalam gereja.

    BalasHapus