Kamis, 05 September 2013

Doa Bagi yang Wafat

Landasan Alkitabiah bagi Memperingati dan Mendoakan Mereka yang Sudah Meninggal





Oleh: Arkhimandrit Rm Daniel B.D.Byantoro

Ummat Israel dalam Perjanjian Lama (Yeremia 34:5, II Tawarikh 16:14, 21:19) dan seluruh Gereja Purba dalam sepanjang sejarahnya berdoa dan memperingati orang-orangnya yang sudah meninggal, yang tradisi ini dilestarikan dalam agama Islam. Memang dalam masing-masing agama ini tujuan dan theologia yang melandasi berbeda-beda dalam praktek mereka untuk berdoa bagi orang yang sudah meninggal ini. Ummat Islam berdoa bagi orang yang sudah meninggal karena mereka percaya bahwa doa itu mampu menyelamatkan orang yang didoakan. Namun kita tak hendak membicarakan keyakinan Islam ataupun keyakinan Agama lain.


Yang akan kita bicarakan adalah mengapa ada ummat Kristen yang mendoakan (Orthodox dan Roma Katolik) dan mengapa ada yang tak mendoakan (aliran-aliran Protestan) orang mati.


Seperti yang kita maklumi dalam tradisi Kristen Protestan, tidak dikenal praktek berdoa bagi jiwa orang yang meninggal bagi mendapatkan belas kasihan Allah dan istirahat kekal karena adanya keyakinan bahwa sesudah meninggal hiubungan yang hidup dan yang sudah mati taka ada lagi. Dalam tradisi ini upacara kematian terdiri dari membawa mayat ke dalam Gereja, atau di rumah saja, lalu beberapa ayat Alkitab dibaca dan kotbah dilakukan, hanya untuk "memberi penghiburan pada yang hidup" dari keluarga orang yang meninggal tadi atau mengisahkan bagaimana peristiwa kematian si mati itu terjadi. Tradisi Kristen Protestan ini memang tak pernah berdoa bagi orang yang meninggal, tak pula memohonkan pengampunan atau hidup kekal bagi mereka.

Landasan mengapa keyakinan Kristen Protestan menolak mendoakan orang mati awalnya ini karena reaksi terhadap praktek Gereja Roma Katolik pada awal munculnya Gerakan Reformasi Protestan sejak tahun 1517 itu sendiri.

Latar belakang sejarahnya adalah, pada saat itu Gereja Roma Katolik membutuhkan uang untuk membangun Basilika Santo Petrus di Roma. Untuk mendapatkan dana bagi proyek yang tidak kecil ini, mereka menjual "Surat penghapusan Dosa" /Indulgensia. Penjualan Surat Penghapusan Dosa ini dimungkinkan karena Gereja Roma Katolik mempercayai ajaran "Api Penyucian". Ajaran ini bukan bagian dari keyakinan dan tak dipercayai Gereja Orthodox

Menurut ajaran "Api Penyucian" ini manusia yang tak pernah ingkar dari iman katolik namun hidupnya tidak sesuai dengan hukum-hukum ilahi, dia tak akan masuk sorga, namun juga tak akan masuk neraka. Manusia semacam ini akan masuk ke alam tengah yang bukan sorga atau neraka yaitu "Api Penyucian".


Dalam "Api Penyucian" ini orang tadi akan mengalami siksa yang menyucikan, sampai akhirnya dia mengalami pembersihan dari dosa-dosanya dan diperkenankan masuk sorga. Sedangkan orang katolik yang taat pada hukum ilahi akan masuk sorga, namun yang sampai berlebih pahala yang dicapai, maka bukan hanya dia masuk sorga, malahan dia akan menjadi orang suci. Rahmat berlebih dari para orang suci inilah yang di "deposito" dalam Gereja Katolik, dan Sri Paus sebagai wakil Kristus di dunia berhak membagikan rahmat tadi dari "deposito" rahmat yang disimpan di Gereja. Bagi mereka
yang menginginkan agar jiwa-jiwa dalam api penyucian yang kekurangan rahmat itu, cepat lepas masa siksanya, dapat menambah rahmat mereka itu melalui dispensasi Sri Paus, dengan menambah rahmat mereka melalui "deposito rahmat berlebih" yang disimpan dalam Gereja itu. Atau melalui doa-doa, korban misa, dan terlebih-lebih melalui "Surat Indulgensia" tadi. Maka dijuallah "Surat Indulgensia" bagi mereka yang ada dalam Api Penyucian itu.

Menghadapi ajaran ini, Martin Luther pertama kali menolak penjualan Surat Indulgensia itu. Lalu menolak sumber munculnya ide tentang "Surat Indulgensia" itu, yaitu ajaran "Api Penyucian" dengan menekankan bahwa hanya oleh rahmat dan oleh iman saja orang diselamatkan. Akibatnya ditolak semua sistim yang ada sangkut-pautnya dengan "Api Penyucian" yaitu doa bagi orang mati, korban misa bagi orang mati, dan tentu saja Surat Indulgensia itu sendiri.

Demikianlah akhirnya dalam tradisi Protestan yang terbentuk sesudah Luther itu, hanya tinggal penolakan berdoa bagi orang yang sudah meninggal itu tadi yang masih dikenang dan dipraktekkan sementara landasan sejarah yang menyebabkan munculnya penolakan itu banyak orang tak mengetahuinya. Malahan dalam perkembangan selanjutnya tradisi Kristen Protestan ada sebagian yang menganggap bahwa berdoa bagi orang mati itu sebagai dosa besar, dengan anggapan bahwa yang sudah percaya Kristus pasti sudah selamat dan tidak perlu didoakan lagi.

Menurut Alkitab keselamatan itu bukan hanya peristiwa masa lalu yaitu peristiwa "sudah" saja, dimana memang orang beriman "sudah diselamatkan" oleh iman yang dinyatakan dalam baptisan (Galatia 3:26-27) dimana ia dimanunggalkan dalam kematian dan kebangkitan Kristus ( Roma 6:3-11), tetapi juga keselamatan itu adalah peristiwa yang sedang terjadi masakini yaitu orang itu "sedang diselamatkan" oleh ketaatan hidup dan perjuangan melawan hawa-nafsu untuk mencapai kekudusan dimana ia “diperbaharui dari hari ke hari” (Kolose 3:10), serta dimana ia diperintahkan untuk “kerjakan keselamatanmu dengan rasa takut dan gentar” ( Filipi 2:12). Akhirnya keselamatan itu juga adalah merupakan peristiwa masa depan artinya orang yang sudah dan sedang diselamatkan itu nantinya ”akan diselamatkan" pada saat kebangkitan menyatu dalam kemuliaan Kristus ( Kolose 3:5, I Yohanes 3:2, Roma 8: 23-25). Karena itu kita akan “memperoleh seluruhnya” (Efesus 1:14) hanya pada saat akhir jaman nanti, karena kita dan mereka yang sudah bersama Kristus itu sama-sama “menantikan keselamatan yang telah tersedia untuk dinyatakan pada akhir zaman” ( I Petrus 1:5). Dalam masa penantian inilah persekutuan cinta-kasih antara kita yang ada di dunia ini dengan mereka yang ada disana di dalam Kristus oleh Roh Kudus dalam doa itu tak terputus.

Berkaitan dengan keyakinan bahwa yang sudah percaya Kristus pasti sudah selamat dan tidak perlu didoakan lagi, juga sering kita jumpai pernyataan bahwa orang yang sudah mati sudah tak dapat diapa-apakan lagi, sudah ditangan Tuhan tak perlu didoakan. Bahkan ada sebagaian yang mentafsirkan sikap ini dengan sangat ekstrim, dimana bahkan datang ke kuburan saja sudah dianggap berdosa malahan di garis-bawahi dengan pernyataan "Itu Penyembahan Berhala", tanpa memberi definisi mengapa hal itu dianggap sebagai penyembahan berhala, dan dimana letak penyembahan berhalanya.

Dengan adanya anggapan semacam itu, maka di dalam pemahaman theologia Protestan pada umumnya, setiap doa bagi orang mati, terkait dengan "Api Penyucian" ataupun tidak, harus ditolak. Maka kebaktian di rumah duka, bukanlah merupakan doa bagi si mati, namun penghiburan bagi si "hidup". Antipati reformasi terhadap praktek Katolik Roma itu dipantulkan dalam sikap salah faham sebagian ummat Protestan terhadap Iman Orthodox juga, sehingga orang-orang yang tak mengerti ini menuduh Iman Orthodox sebagai ajaran sesat yang mengajarkan orang "menyembah arwah-arwah" atau "minta perlindungan Orang Kudus".

Untuk menganggapi salah mengerti ini, perlu digaris-bawahi bahwa Iman Kristen Orthodox itu sangat menekankan "Tauhid" atau Keesaan Allah, dan menentang orang-orang musyrik ("menyekutukan Allah "). Dengan demikian maka sulit dipercaya bahwa dengan penekanannya akan ke-Esa-an Allah ini, lalu Iman Kristen Orthodox pada saat yang bersamaan juga mengajarkan "menyembah arwah-arwah" atau "minta perlindungan Orang Kudus" yang jelas-jelas itu perbuatan orang musyrik.

Sebagai Iman yang Tauhid dan Kristus-sentris, Gereja Orthodox tak akan jatuh pada musyrik semacam itu, Pelindung setiap orang Kristen Orthodox adalah Allah sendiri di dalam Kristus oleh Roh Kudus. Sedangkan para orang suci adalah sahabat-sahabat yang membantu doa, karena orang Suci itu hidup di hadirat Kristus dalam sikap berdoa dan menyembahNya. Jadi tak ada bukti bahwa Iman Kristen Orthodox mengajarkan orang untuk "menyembah arwah-arwah" dan "meminta perlindungan orang-orang Kudus" seperti yang disalah-fahami sebagian orang tadi.


Selanjutnya, Iman Kristen Orthodox adalah Iman yang menekankan "Inkarnasi" yaitu "TurunNya Firman Allah ke dunia menjadi Daging" (Yohanes 1:14). Melalui TurunNya sebagai daging jasad-jasmani manusia, Firman Allah telah menyatukan kemanusiaan kita dengan keilahianNya sendiri.Oleh kematian dan kebangkitanNya, kemanusiaan yang dipersatukan dengan keilahianNya itu telah dimuliakan dalam kekekalan sehingga teresapi oleh kodrat keilahianNya sendiri. Demikianlah setiap manusia yang menyatu
dengan Kristus oleh iman yang dinyatakan melalui baptisan, telah menjadi satu dengan kemanusiaanNya, sehingga semua menjadi anggauta Tubuh kemanusiaan yang satu dan yang sama itu, dan inilah yang disebut "Gereja": Tubuh Kristus.

Tujuan penyatuan dalam Tubuh Kristus oleh Sakramen didalam Gereja inilah adalah untuk "ambil bagian dalam kodrat ilahi" tadi (II Petrus 1:4). Sehingga orang yang mati dalam Kristus itu tidak mati namun " hidup walaupun sudah mati " ( Yohanes 11:25), karena mereka "sudah pindah dari dalam maut ke dalam hidup" ( Yohanes 5:24), sebab mereka menyatu dengan keilahian Kristus yang dinyatakan melalui kebangkitanNya. Dan mereka yang "hidup walaupun sudah mati" itu, sekarang membentuk komunitas suci sebagai " roh-roh orang benar yang telah menjadi sempurna" , yaitu "jemaat anak-anak sulung, yang namanya terdaftar di sorga" ( Ibrani 12: 23). Jadi orang yang mati di dalam Kristus itu bukannya tak dapat dibicarakan lagi keberadaannya, karena mereka masih hidup dan membentuk masyarakat suci yang sama hidupnya dengan kita, hanya mereka telah "'benar" dan " sempurna" dan dalam wujud "roh" yang sama sekali tak dapat mati lagi.

Mereka lebih hidup dari kita, karena mereka tak mati lagi, dan telah menyatu dengan kehidupan ilahi di dalam Kristus.Sedangkan kita masih berwujud daging yang dapat mati, sering menyeleweng dalam dosa dan sangat tidak sempurna. Mereka ini disebut "jemaat" yaitu "Gereja", berarti mereka ini satu Tubuh dengan kita yang juga menyatu dengan Kristus itu. Mereka adalah Gereja yang sudah menang dan kita adalah Gereja yang sedang berjuang. Dan Alkitab mengatakan bahwa dalam Kristus hanya ada "Satu Tubuh" yaitu "Satu Gereja" saja ( Efesus 4:4) karena hanya ada "Satu Roh" yang menghidupi. Jika demikian berarti "komunitas suci" dari "roh-roh orang benar yang telah menjadi sempurna" itu merupakan satu anggota dari "Satu Tubuh" yang sama dengan kita. Oleh karena itu mereka tak terpisah dari kita, bahkan pada saat ini juga. Karena baik mereka maupun kita sama-sama manunggal dalam Kemanusiaan Kristus yang sama, dan dihidupi oleh Roh Kudus yang sama.

Memisahkan mereka dari kita, berarti menyangkal karya Inkarnasi Kristus, dan rahmat panunggalan kita denganNya, serta pendangkalan makna ekklesiologi. Dan itulah bida'ah yang harus dijauhi.Sebagaimana kita dalam dunia sebagai Tubuh Kristus penyatuannya terletak pada Sakramen (I Kor.10:16-17), ibadah dan doa, demikianlah kesatuan dan penyatuan kita dengan Gereja yang satu namun yang sudah menang itu adalah dalam doa.

Itulah sebabnya kita berdoa bagi mereka yang sekarang sudah hidup dengan Kristus. Jadi kita tak berdoa bagi orang mati, namun bagi orang yang sudah hidup, yang derajat hidupnya kebih tinggi dari hidup kita sekarang, sebagai wujud dari kesatuan Gereja, dan sebagai bukti bahwa cinta-kasih keluarga itu tak terputus oleh kematian di dalam Kristus. Jadi doa kita bukanlah doa individualistis, namun ekklesiologis sifatnya. Itulah sebabnya peringatan bagi orang mati dalam Gereja Orthodox selalu dilakukan dalam konteks Liturgis, dilakukan oleh Imam (Presbyter), ataupun secara pribadi sebagai bagian dari Gereja dalam bentuk Doa Kidung Akatistos yang ada di tangan pembaca saat ini. Menyembah arwahkah ini? Jelas bukan.

Doa Gereja itu bukanlah doa sebagai landasan dan sarana keselamatan si mati, karena keselamatan seseorang tergantung pada iman mereka kepada Kristus dan pertobatan hidup mereka diwaktu hidup di dunia ini, namun doa ini adalah penegasan iman akan janji Allah, agar janji Allah yang telah diberikan dalam Kitab Suci bahwa orang mati dalam Kristus itu menerima pengampunan, istirahat dan keteduhan serta disatukan dengan para suci yaitu "komunitas kudus dari roh-roh orang benar yang telah menjadi sempurna" itu menjadi realita dan kenyataan.

Sang Kristus mengajarkan :” Sebab itu Aku berkata kepadamu: Segala dosa dan hujat manusia akan. diampuni, tetapi hujat terhadap Roh Kudus tidak akan diampuni. Apabila seorang mengucapkan sesuatu menentang Anak Manusia, ia akan diampuni, tetapi jika ia menentang Roh Kudus, ia tidak akan diampuni, di dunia ini tidak, dan di dunia yang akan datangpun tidak.” (Matius 12: 32-33). Menurut ayat-ayat ini “segala dosa dan hujat manusia akan diampuni”, tentunya kalau manusia itu bertobat. Hanya satu dosa yang tidak bisa diampuni, karena dosa yang satu itu membuat manusia tak bisa bertobat, yaitu dosa “menghujat Roh Kudus”. Bahkan dosa menentang “Anak Manusia” (Yesus Kristus) pun, akan diampuni, tentunya jika dilakukan dalam keadaan belum percaya dan belum diterangi oleh Roh Kudus, namun dosa menentang dan menghujat Roh Kudus, iku tak akan diampuni. Inilah dosa menolak dan menentang penerangan Roh Kudus dalam hati tentang Kristus, sehingga orang itu menjadi murtad ( Ibrani 6:4-6) dan lepas dari keselamatan, sehingga tak ada pengampunan dan mengalami keberadaan berdosa yang membawa maut (I Yohanes 5:16-17). Dan ketiadaan ampun atas dosa menentang dan menghujat Roh Kudus ini akan terjadi baik di dunia ini maupun di dunia yang akan datang. Dengan demikian pengampunan atas dosa-dosa yang dilakukan selain menghujat dan menentang Roh Kuduspun akan terjadi di dunia ini dan di dunia yang akan datang. Jadi pengampunan itu masih mungkin di lakukan Allah di dunia yang akan datang, aslakan itu belum merupakan Penghakiman Terakhir yang akan terjadi di akhir jaman nanti. Karena orang-orang yang meninggal sebelum akhir jaman itu belum mengalami Penghakiman Akhir, berarti keberadaan mereka sekarangpun belum merupakan keputusan akhir pula, oleh karena itu masih ada pengampunan dari Allah. Bagaimana pengampunan Allah itu dilakukan, Kitab Suci tak memberikan kepada kita rincian detilnya. Karena janji inilah kita mendoakan mereka yang sudah meninggal agar Allah menggenanpoi janji yang telah dikatakan mengenai pengampunan dosa yang bisa terjadi di dunia ini dan di dunia yang akan datang itu.


Jadi kelihatannya hanya karena salah faham dan ketidak-mengertian saja sehingga ajaran yang demikian Alkitabiah, suci, dan bersih dari bidaah, mengenai berdoa bagi mereka yang sudah meninggal itu dicela oleh sebagian orang sebagai tidak rasionil dan kurang kritis.

Doa bagi orang yang sudah hidup di dalam Kristus sebagai wujud kesatuan Gereja, dan wujud kasih yang tak dapat dipisahkan oleh kematian itu, disebut sebagai “peringatan” bukan”selamatan”, karena Alkitab mengatakan:” Ingatlah pemimpin-pemimpin kamu,yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu (para rasul, episkop, presbiter dan diaken). Perhatikanlah akhir hidup mereka, dan contohlah iman mereka”( Ibrani 13:7). Ayat ini menjelaskan bahwa pemimpin-pemimpin itu memiliki “akhir hidup” berarti mereka sudah mati. Atas mereka yang sudah mati itu diperintahkan bagi kita untuk “mengingat” dan “mencontoh iman mereka”. Itulah sebabnya para kudus yang telah mati itu tetap diingat (perhatikan: BUKAN DISEMBAH!!!) dalam ibadah Gereja dalam doa jemaat kepada Allah, karena yang diperintah untuk mengingat disini adalah jemaat (Gereja). Dan peringatannya itu berwujud kidung-kidung yang disebut “Menaion” dan bacaan kisah hidup mereka yang disebut “synaxarion” yang mengisahkan hidup mereka, sehingga iman mereka dapat dicontoh. Peringatan akan orang yang sudah mati yang diperintahkan Alkitab ini, akhirnya tak terbatas pada para pemimpin saja,namun juga seluruh anggota Gereja. Karena di dalam Kristus kenangan mereka yang beriman kepadaNya itu kekal adanya. Itulah sebabnya diadakan peringatan dalam ibadah doa dalam bentuk Kidung Akatistos seperti sekarang ini.


Karena Alkitab sama sekali tak pernah memerintahkan suatu larangan berdoa bagi orang yang meninggal di dalam Kristus, yang dilarang adalah melakukan praktek okkultisme dengan menanyakan sesuatu pada orang mati atau roh peramal (Ulangan 18: 9-14), atau mempersembahkan korban bagi orang mati (Mazmur 106:28) yang juga dilarang keras dalam Gereja Orthodox dan dianggap dosa besar gai terbentrangnya jurang antara kita yang masih hidup dan mereka yang sudbertobat,maka sebagian orang yang menolak praktek memperingati ini mencari-cari dukungan akan ide mereka itu dari Alkitab dengan menggunakan Kisah Orang Kaya dan Lazarus, ketika mereka meninggal ( Lukas 16: 19-31).
Secara garis besar mereka mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara yang hidup dan yang mati menurut kisah ini,karena adanya kata-kata :”…di antara kami dan engkau terbentang jurang yang tak terseberangi, supaya mereka yang mau pergi dari sini kepadamu, ataupun mereka yang mau datang dari situ kepada kami tidak dapat menyeberang “ (Lukas 16: 26).

Dalam ayat diatas ini dikatakan tentang “terbentang jurang yang tak terseberangi,” yang ditafsirkan sebagai terbentangnya jurang antara kita yang masih hidup dan mereka yang sudah mati, sehingga tak ada hubungan apapun antara orang yang masih hidup dengan orang yang sudah mati. Namjun jika kita baca secara hati-hati ayat ini sama sekali tak memberikan dukungan apapun kepada mereka yang mentafsirkan sedemikian tadi, sebab jurang yang dimaksudkan dalam ayat itu bukan jurang yang memisahkan antara dunia orang hidup dengan dunia orang mati, namun dunia dalam alam kematian itu sendiri, yaitu antara sorga ( Abraham dan Lasarus yang sudah mati) dan neraka ( si orang kaya yang juga sudah mati). Selanjutnya meskipun dikatakan ada jurang sebagai tempat yang tak dapat diseberangi, namun komunikasi masih tetap dapat dilakukan, buktinya Abraham yang ada di Firdaus masih dapat berbincang-bincang dengan si Orang Kaya yang ada dalam siksa alam maut itu. Malahan ada permintaan orang kaya agar Abraham mengirimkan Lazarus ke rumah ayahnya untuk memperingatkan saudara-saudaranya agar nantinya tak akan masuk ketempat siksa itu ( Lukas 16: 27-28). Permintaan itu ditolak oleh Abraham dengan kata-kata ini:” …Ada pada mereka kesaksian Musa dan para nabi, baiklah mereka mendengarkan kesaksian itu……Jika mereka tak mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi, mereka tidak akan juga diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati “ ( Lukas 16: 29,31).

Jawaban ini juga kadang-kadang dijadikan landasan untuk membuktikan bahwa tidak ada hubungan antara yang hidup dan yang mati. Namun ayat itu tak membahas masalah adanya atau tidak adanya hubungan antara yang hidup dan yang mati. Ini adalah penegasan bagaimana cara menghindar dari neraka seperti yang dikehendaki si Orang Kaya itu saja. Caranya menghindar dari siksa itu adalah jika saudara-saudara si Orang Kaya yang masih hidup di dunia itu mau mendengar Kitab Suci, sudah cukuplah mereka dapat diperingatkan untuk menjauhi dosa agar tak masuk neraka. Namun jika memang tak mau mendengar Kitab Suci, biarpun ada mukjizat bangkitnya orang matipun, orang tetap tak percaya juga. Jadi ayat-ayat ini sama sekali tak berbicara mengenai dapat atau tidaknya hubungan antara orang hidup dan orang mati, terutama yang dalam Kristus. Abraham tidak mau menyuruh Lazarus ke bumi lagi bukan karena hal yang demikian itu tidak mungkin terjadi, karena Musa yang sudah matipun ternyata dapat menampakkan diri ke bumi dan dilihat manusia yang masih berbadan jasmani ( Matius 17: 2-3), namun pernyataan Abraham itu hendak menegaskan pentingnya beriman kepada Kitab Suci, bukan pada mukjizat yang spektakular. Jadi argumentasi diatas dengan menggunakan ayat-ayat ini tak bisa dipertahankan. Maka jelaslah tak ada larangan sedikitpun dalam Alkitab untuk “memperingati orang mati”, yang ada malah perintah untuk melakukan seperti yang telah kita bahas diatas. Jadi penolakan akan doasebagai “peringatan” atas orang mati dasar theologianya sangat tipis, dan landasan Alkitabnya tidak ada.Penolakan itu hanya semata-mata merupakan reaksi terhadap apa yang dianggap oleh Martin Luther sebagai penyelewengan ajaran Gereja Roma Katolik tentang doa bagi orang mati dalam kaitannya dengan Indulgensia dan Api Penyucian seperti yang telah kita bahas diatas. Sedangkan praktek Gereja Orthodox mengenai doa sebagai “peringatan” bagi orang mati itu adalah merupakan implikasi logis dan dampak langsung serta penegasan dari doktrin inkarnasi Kristus,kematian dan kebangkitanNya, keselamatan manusia melalui panunggalan denganNya,ekklesiologi, dan persekutuan para kudus, kini dan pada saat ini, bukan hanya menunggu nanti pada akhir zaman, serta tak ada hubungannya sedikitpun baik dengan doktrin “Api Penyucian” maupun “Indulgensia” yang keduanya ini memang bukan bagian dari ajaran Gereja Orthodox.


Namun, ada satu situasi dimana Gereja, bukan individu perorangan, tidak dapat mendoakan mereka yang sudah meninggal. Yaitu jika terjadi kasus bunuh diri, yang bukan disebabkan oleh masalah kegilaan atau penyakit Jiwa. Gereja tak dapat mendoakan kasus semacam ini, karena orang ini telah berdosa besar yaitu melakukan pembunuhan, dan tak mungkin lagi ada pertibatan, karenaq dia sudah mati. Jadi jiwanya meninggalkan tubuh dalam keadaan menyandang dosa besar tanpa ada kesempatan pertobatan dan pengampunan.Itulah sebabnya Gereja Orthodox tidak melakukan penguburan melalaui upacara-upacara yang selayaknya dilakukan bagi orang meninggal. Namun individu keluarga dari orang yang mati itu tak dilarang melakukan doa bagi jiwanya. Hal itu dilakukan dengan menggunakan Doa Kidung Akastitos secara pribadi di rumahnya masing-masing.

1 komentar:

  1. Mengenai hal ini saya mempunyai beberapa pandangan
    1."Sedangkan para orang suci adalah sahabat-sahabat yang membantu doa, karena orang Suci itu hidup di hadirat Kristus dalam sikap berdoa dan menyembahNya"--> Saya memahaminya ketika orang tersebut masih hidup bukan ketika mereka sudah meninggal.
    2. Apakah pernyataan orang yang mati dalam Kristus itu tidak mati namun " hidup walaupun sudah mati " berarti bahwa mereka mempunyai otoritas dan kemampuan mendengarkan doa kita lalu mendoakannya kembali kepada Allah ?
    3. Mengenang orang mati tidak dilarang karena ketika membaca kitab suci PB kitapun secara tidak langsung mengenang mereka. Tapi tidak ada keterangan dalam kitab suci yang memperbolehkan kita minta didoakan oleh Santo/santa termasuk para rasul yang telah wafat dan pembenaran mendoakan bagi mereka yang telah wafat.
    4. Pernyataan {Abraham tidak mau menyuruh Lazarus ke bumi lagi bukan karena hal yang demikian itu tidak mungkin terjadi, karena Musa yang sudah matipun ternyata dapat menampakkan diri ke bumi dan dilihat manusia yang masih berbadan jasmani}-->Abraham tidak punya kuasa mengijinkan orang kaya ke bumi hanya Allah yang mampu.
    Kalau meyakini hal ini berarti meyakini adanya arwah yg gentayangan dan arwah bisa pindah alam dengan ijin Abraham.
    Mengenai penampakan Musa itu murni kehendak Allah, Musa sendiri tidak bisa menampakkan diri kalau Allah tak berkehendak demikian.
    5. Memang tidak ada larangan berdoa bagi orang yang sudah mati tetapi juga tidak ada bukti bahwa doa orang yang masih hidup berefek pada orang yang telah mati.

    BalasHapus