Kamis, 05 September 2013

Sabat dan Minggu

Makna Sabat dan Minggu dalam Alkitab


Oleh : Arkhimandrit Rm. Daniel Byantoro

Pendahuluan

Sabbat adalah hari perhentian yang diperintahkan oleh Allah kepada bangsa Israel di dalam Kitab Suci Perjanjian lama. Dan sampai sekarang ini hari Sabbat ini menjadi pusat terpenting dalam sistim ibadah agama Yahudi (Yudaisme). Hari Sabbat itu sendiri sebanding dengan hari ketujuh, yaitu hari Sabtu (Sabt) kata yang berakar sama dengan bahasa Ibrani Sabbat tersebut.

Namun oleh pengaruh dari Hukum Sepuluh yang memerintahkan agar umat Israel merayakan hari Sabbat sebagai hari kudus, dimana orang dilarang melakukan pekerjaan apapun, ada sementara orang Kristen terutama dari kalangan tradisi Advent dan tradisi “World Wide Church of God”, atau Armstrongisme yang menekankan bahwa orang Kristen yang sejati haruslah menguduskan hari Sabtu ini untuk membuktikan ketaatan mereka kepada Allah. Sebab tak menguduskan hari Sabbat berarti murtad terhadap Allah. Sedangkan tradisi Kristen yang lain mengatakan bahwa hari Sabbat itu sudah diganti oleh hari Minggu, yang tentu saja kaum Sabbatisme (hari ketujuhisme) akan cepat menunjuk bahwa kata Sabbat itu artinya Sabt (Tujuh) atau Sabtu, bukan Minggu (Dominggos) atau Ahad. Sehingga terjadilah simpang siur mengenai masalah ini. Ada lagi yang mengatakan hari tertentu itu tak perlu, semua hari itu sama saja, asal itu digunakan untuk menyembah Allah, semua hari adalah Sabbat. Mana yang benar dari semua pendapat ini. Dan kalau memang semua hari adalah sama saja, mengapa Allah memerintahkan hari Sabbat untuk dirayakan secara begitu jelas. Apakah betul merayakan hari Minggu itu telah menggantikan hari Sabtu dan Minggu ini sendirilah Sabbat, kalau bukan, adakah hubungan hari Sabbat (Hari Ketujuh) dengan hari Minggu (Dominggos = Hari Tuhan, hari Pertama) itu? Atau mungkin memang betul bahwa kedua-duanya tidak penting. Untuk membahas masalah inilah artikel ini ditulis.

Asal-usul dan makna Sabbat

Nehemia 9:13-14 mengatakan “Engkau telah turun ke atas gunung Sinai dan berbicara dengan mereka dari langit dan memberikan mereka peraturan-peraturan yang adil, hukum-hukum yang benar serta ketetapan-ketetapan dan perintah-perintah yang baik. Juga Kauberitahukan kepada mereka SABATMU YANG KUDUS…” Menurut ayat ini Sabat Kudus itu diberikan oleh Allah kepada bangsa Israel itu pada saat pernyataan Allah di Gunung Sinai, yaitu bersamaan diberikannya Hukum Sepuluh atau Dasa Titah, seperti yang tertulis dalam Keluaran 20: 8-11: “Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat, enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabbat TUHAN, Allahmu, maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan.… sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya TUHAN memberkati hari Sabbat dan menguduskannya.”

Berdasarkan pernyataan Allah di Gunung Sinai ini, Musa ketika mulai menulis kitab Taurat yang pertama, yaitu Kitab Kejadian, terutama di pasal yang kedua memberi komentarnya: “ Ketika Allah pada hari ketujuh telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuatnya itu, lalu Allah memberkati hari ketujuh dan menguduskannya karena pada hari itulah Ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah dibuatnya itu.”(Kejadian 2:2-3). Ayat ini bukanlah perintah Allah secara langsung kepada Adam dan Hawa di Taman Eden, namun ini hanya komentar penulis (Musa) atas kisah penciptaan dengan dikaitkan langsung kepada pengalaman pembaca; yang dimaksud penulis yaitu Bangsa Israel sendiri, yang telah menerima perintah di Gunung Sinai untuk merayakan Sabbat”.

Dan juga kata Sabbat itu belum muncul dalam Kejadian 2: 2-3, yang muncul adalah hari Ketujuh. Jadi jelaslah Sabbat itu memang baru diberitahukan oleh Allah kepada bangsa Israel pada saat pemberian Hukum Sepuluh di Gunung Sinai seperti yang dikatakan oleh Nehemia 9:13-14.Sabbat itu belum dikenal di Taman Eden dan tak dikenal oleh Nuh, Abraham, Iskak dan Yakub, Yusuf dan Bangsa Israel sebelum pernyataan Allah di Gunung Sinai itu. Oleh karenanya tak pernah kita jumpai satu perintahpun dalam kitab Kejadian 12 dan Keluaran 15 yang mengatakan bahwa manusia harus merayakan hari Sabbat. Memang kata “Sabbat” itu pertama kali muncul di Keluaran 16: 23-30, dan perintah untuk merayakannya itu juga diberikan dalam konteks “ pekerjaan” Israel mengumpulan manna yang turun dari langit, namun sebagai perintah tertulis dan alasan-alasan merayakan dan menguduskan itu baru diberikan pada Hukum Sepuluh yang diberikan di atas Gunung Sinai kepada Musa.

Sebenarnya secara langsung perintah untuk merayakan dan menguduskan Hari Sabbat itu ada kaitannya dengan peristiwa “lahirnya bangsa Israel” itu sendiri, yaitu lepas dari penindasan Mesir dimana di situ mereka dipe’kerja’kan dengan berat dan keras sebagai budak, menuju sebagai bangsa yang bebas mandiri “berhenti” dari “kerja” keras dan paksa yang dilakukan Mesir atas mereka. Oleh karena itulah perintah merayakan dan menguduskan Sabbat itu ada kaitannya dengan “pekerjaan”. Kaitan ini dijelaskan dalam Ulangan 5: 12-15: “ Tetaplah ingat dan kuduskanlah hari Sabbat, seperti yang diperintahkan kepadaMu oleh TUHAN, ALLAHMU. Enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabbat TUHAN, Allahmu, maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan …. Sebab haruslah Kauingat, bahwa engkaupun dahulu budak di tanah Mesir dan engkau dibawa keluar dari sana oleh TUHAN, Allahmu dengan tangan yang kuat dan lengan yang teracung; itulah sebabnya TUHAN, Allahmu memerintahkan engkau merayakan hari Sabbat.” Sebagaimana Israel dahulu adalah budak dari Mesir yang harus bekerja keras, namun sekarang berhenti bekerja sebagai budak, maka sekarang Sabbat itulah hari perhentian, sebagai tanda pelepasan mereka dari kerja keras tersebut. Dengan selalu merayakan Sabbat, Israel diingatkan terus-menerus kepadanya karena Allah yang telah membebaskan dan melepaskan mereka dari penindasan dan penganiayaan, sehingga itu menjadi sarana mereka bersyukur dan berbakti kepada Allah dan berbelaskasihan kepada orang tertindas, budak dan binatang dengan tak mempekerjakan mereka tanpa batas dan istirahat. Jadi Sabbat ini akhirnya menjadi gaya hidup Israel, baik secara agamawi maupun secara social. Jika Sabbat ini dikaitkan dengan kisah penciptaan itu hanya menunjukan prototipe kerja dan berhenti kerja yang ada pada cara Allaha sendiri berkarya, namun bukan langsung menunjuk eksistensi Israel sebagai bangsa yang telah “diSabbatkan” oleh Allah yaitu dibebaskan dari Mesir. Lagi pula karena hari ketujuh itu tak terjumpai dalam perintah merayakan Sabbat dengan berhenti dari kerja dalam prototype kisah pembebasan dari Mesir itu sendiri, maka pemilihan hari ketujuh sebagai hari perhentian itu diambil dari kisah penciptaan.
Namun dari kisah penciptaan itu sendiri ternyata hari ketujuh yang dimaksud ternyata berbeda dengan hari ketujuh dengan realita hari yang dimiliki manusia pada zaman hidup di dunia sesudah Adam keluar dari eden itu. Hal ini terbukti dari fakta bahwa hari kita yang terdiri dari 24 jam ini tergantung dari berputarnya bumi di sekitar matahari atau dari gelap atau terangnya alam oleh sinar matahari. Padahal dalam kejadian 1 itu matahari, bulan dan bintang-bintang itu baru terjadi sesudah hari yang keempat (Kejadian 1:14-19), yang berarti hari pertama (kejadian 1:5), yaitu hari Minggu dan hari kedua (Kejadian 1:8) yaitu hari Senin, dan hari ketiga (kejadian 1:13) yaitu hari Selasa, itu berbeda dengan hari-hari yang ada sekarang yang terdiri dari 24 jam ini, meskipun disebutkan petang dan pagi. Kitapun tak tahu pagi dan petang yang bagaimana yang dimaksud oleh ayat-ayat itu, karena jelas itu tidak tergantung pada terang dan gelapnya sinar matahari seperti hari yang kita kenal sekarang.

Itulah sebabnya hari dalam Kitab Kejadian 1 itu bukan hari yang sama seperti hari kita sekarang, dengan demikian hari ketujuh itu bukan tepat hari Sabtu yang kita kenal. Namun itu lebih bersifat hari yang bermakna periode atau jangka waktu yang terdiri dari tujuh tahap. Bahwa hari Sabtulah yang akhirnya dinyatakan sebagai hari ketujuh karena perhitungan satu minggu dalam kalender kita manusia, baik pada jaman itu maupun pada jaman sekarang, memang menyebutkan bahwa Sabtulah hari ketujuh. Tahapan proses penciptaan yang memakan 7 periode itulah yang akhirnya digunakan sebagai rujukan untuk menyebut hari Sabtu sebagai hari ketujuh.


Maka dengan demikian dari banyak bukti-bukti Alkitab kita dapat menyimpulkan bahwa Sabbat itu lebih terikat erat dengan peristiwa penciptaan Israel sebagai bangsa, yaitu pembebasan dari Mesir, daripada dengan penciptaan dunia itu sendiri. Karena penekanan hari Sabbat itu bukan pada hari ketujuhnya, yang dalam proses penciptaan ternyata bukan tepat pada hari Sabtu seperti yang kita enal sekarang, namun pada makna “berhenti kerja”nya, yaitu tanda peringatan “berhenti kerja” buda-budak Mesir itu.

Jadi berhenti bekerja sebagai budak itu diperingati dengan larangan melakukan “sesuatu” pekerjaan atau pekerjaan apapun, namun karena peringatan berhenti kerja itu harus diperingati oleh suatu hari tertentu, maka dicari hari mana yang ada kaitannya dengan “berhenti kerja” itu. Hal itu ditemukan dengan “berhenti kerja”Nya Allah dalam penciptaan, yang terjadi pada “hari ketujuh” yang kebetulan dalam kalender Israel dan bangsa-bangsa lain dijaman itu atau jaman sekarang bertepatan dengan hari Sabtu, meskipun “hari ketujuh” yang dimaksud dalam proses penciptaan (Kejadian 2:2-3) itu tidak sama persis dengan hari Sabtu yang kita kenal. Jadi yang digarisbawahi sebenarnya adalah soal “berhenti kerja” atau “pembebasan” bukan hari Sabtunya, sebab hari ketujuh dari Kejadian 2:2-3 itu tak kita ketahui hari yang bagaimana. Allah memerintahkan hari ketujuh karena kaitan maknanya dengan pembebasan Israel dari perbudakan, bukan karena harinya itu sendiri.

Hari Sabbat  dan Sosial-Keagamaan Israel

Sesudah pembebasannya dari Mesir dan terciptanya status dan eksistensi kebangsaannya, Israel masuk ke tanah Kanaan dan di sana mereka hidup sebagai bangsa yang bersifat agraris dengan hukum-hukum keagamaan sebagai pranata hidup social kemasyarakatan mereka. Sabbat adalah salah satu daripadanya, serta itu merupakan daur-lingkaran gaya hidup Israel sebagai individu yang bermasyarakat dan juga sebagai komunitas bangsa yang terikat pada budaya yang berpusat pada agama.

Ikatan erat antara Sabbat dengan sistim hidup Israel secara keseluruhan ini sangat jelas sekali, sehingga memisahkan konteks-sosial-keagamaan Israel yang merupakan pranata ilahi dari Sabbat, lalu menerapkannya dari gereja Kristen modern yang tak membentuk suatu ikatan budaya kebangsaan dengan hidup social yang bersifat agamis adalah merupakan pemerkosaan atas fakta alkitab, dan yang lebih penting adalah itu memperkosa kebenaran wahyu ilahi itu sendiri.

Bahwa Sabbat itu terikat erat dengan sistim hidup social keagamaan Israel itu dapat kita lihat dalam Keluaran 23; 1-19. Dalam perikop ini beberapa hukum social keagamaan Israel dijelaskan. Dijelaskan mengenai larangan menyebar kabar bohong, kerelaan menolong binatang milik musuh yang tersesat atau keberatan beban, keadilan, suap dan akhirnya Sabbat dan hari-hari raya dan perayaan Israel. Ayat 10-11 berbicara tentang “TAHUN SABBAT” yaitu bekerja dan mengusahakan tenaga selama enam tahun dan menghentikannya selama tahun ketujuh, ayat 12 berbicara tentang “HARI SABBAT” yaitu bekerja selama enam hari dan berhenti pada hari ketujuh, sedangan dari ayat 14-19 dijelaskan mengenai keharusan merayakan tiga hari raya Israel: hari raya Roti tak beragi, hari raya Buang Bungaran, hari raya Pengumpulan Hasil, dan peraturan mempersembahkan korban binatang.

Perikop di atas merupakan suatu kesatuan yang tak dapat dilepaskan, sehingga ketentuan tentang hari Sabbat jelas merupakan kesatuan dengan ketentuan Tahun Sabbat. Tiga hari raya dan korban-korban yang menyertainya. Merayakan Sabbat berarti bukan hanya “Hari” Sabbat, namun juga “Tahun” Sabbat, dan beserta itu merayakan perayaan-perayaan tiga lainnya yang diserta dengan pranata korban menyertainya.  Maka mengambil Sabbatnya saja, melupakan konteks kesatuan perikop sebagai yang sama-sama diberikan oleh Allah adalah merupakan pemerkosaan kebenaran. Penjelasan lebih rinci bagaimana seharusnya Sabbat itu harus dirayakan dan dalam konteks apa Sabbat itu dirayakan dapat kita lihat dalam Imamat 23.

Imamat 23:2 : “… hari-hari raya yang ditetapkan TUHAN yang harus kamu maklumkan… adalah yang berikut. Enam hari lamanya boleh dilakukan pekerjaan, tetapi pada hari yang ketujuh haruslah ada Sabbat…” Selanjutnya perikop pasal ini memberikan rincian dari hari-hari raya dengan tata cara pelaksanaannya, termasuk di dalamnya adalah apa yang sudah disebut dalam Keluaran 23 di atas, hari Raya Roti tak beragi, dimana syarat pelaksanaannya sama dengan Sabbat yaitu “janganlah kamu melakukan sessuatu pekerjaan berat” (Im.23:8), yang ini menunjukkan perluasan makna Sabbat dalam kehidupan sosial keagamaan Israel. Demikian juga hari raya Pengumpulan hasil dan hari raya Buah Bungaran, dihitung dalam kaitannya dengan Sabbat (Imamat 23:11,15) dan juga dalam kaitannya untuk tidak melakukan pekerjaan berat (Im 23:25. Semuanya ini menunjukkan bahwa Sabbat itu menjadi dasar dari semua hari raya Israel dan sistim kehidupan bangsa itu. Serta Sabbat itu tidak dibatasi pada hari ketujuh secara terisolasi namun juga terkait dengan perayaan-perayaan Israel lainnya yang disertai syarat korban yang harus dipenuhi, dimana setiap perayaan hari raya itu memiliki cirri Sabbat: Tahun Sabat, Tujuh Sabat (Minggu Sabat), serta Ini Sabat (tidak bekerja).

Demikianlah Alkitab telah memberikan peraturannya sendiri bagaimana Sabbat itu harus dilaksanakan dan dalam konteks yang bagaimana itu harus dilaksanakan. Jika dalam Hukum Sepuluh hanya disebut mengenai “Hari Sabat” saja, itu disebabkan hukum sepuluh hanya menunjukkan garis pokok ketentuan hukumnya saja, sedangkan rinciannya disebut ditempat lain seperti yang telah kita bahas di atas, sama seperti menghormati bapa-ibu itu diperluas dengan menghormati semua otoritas yang ada di atas kita: pemimpin, guru, tua-tua, pemerintah dan sebagainya. Jadi sungguh tak masuk akal jika kita hanya mengambil hukum menghormati ayah-ibu lalu menolak ketetapan mentaati pemerintah sebagai perluasan makna hukum dasar tadi.

Demikian pula dengan Sabat ini. Mengambil hari Sabtunya saja, lalu mengabaikan segenap rincian ketentuannya dengan segala konteks dan kaitannya seperti yang jelaskan oleh Kitab Suci sendiri, adalah merupakan tindak sewenang-wenang terhadap nats kitab suci. Jika Sabbat harus diikuti maka semua ketentuannya harus tidak boleh diabaikan. Melakukan ini berarti kita harus menjalankan seluruh hukum Perjanjian lama tanpa pilih-pilih, yang berarti ita harus jadi Yahudi. Itulah konsekwensinya jika kita mau taat terhadap ketentuan Sabbat yang utuh, konsekwen dan sempurna.

Lingkup Makna Sabat
Jika kita telah menyebutkan bahwa kitab suci bukan hanya mengajarkan mengenai “Hari Sabbat” tetapi juga “Minggu Sabbat” (Hari Raya Tujuh Minggu), dan juga “Tahun Sabbat”, dan semuanya ini ditetapkan oleh Allah sendiri sebagai “Suatu ketetapan untuk selama-lamanya” (Im 23:14), yang bermakna tak seorangpun boleh menghapuskan ketetapan-ketetapan yang menyangkut Sabbat dengan segala kaitan perluasan maknanya tadi.


Juga telah kita sebutkan bahwa perayaan Hari Sabbat itu ditentukan bagi “Israel” dalam kaitannya langsung dengan sejarah suci Israel yang dilepaskan dari perbudakan Mesir menuju pada “perhentian” kemerdekaan, sehingga Sabbat itu merupakan “perjanjian kekal” buat Israel.

Oleh karena itu hakekat perayaan Sabbat itu adalah “berhenti kerja” bagi individau-individu umat Israel. Pelanggaran ketentuan “berhenti kerja”, artinya perhentian sebagai tanda pelepasan dari perbudakan yang bersangkutan dengan pelaku-pelakunya yaitu manusianya yang harus berhenti kerja. Namun ternyata kaitan Sabbat itu begitu luasnya sehingga bukan hanya manusianya saja yang dikenal ketetapan untuk berhenti bekerja, namun juga tempat kerja yaitu tanahpun harus punya hari perhentiannya atau lebih tepat lagi “tahun perhentiannya” yaitu Tahun Sabbat (Im 25), karena bangsa Israel adalah bangsa petani dan peternak.

Menurut ketetapan Tuhan ini maka bangsa Israel boleh mengerjakan tanah itu selama enam tahun dan pada tahun ketujuh “tanah itu harus mendapat perhentian sebagai Sabbat bagi Tuhan” (Imamat 25:2), segala sesuatu yang tumbuh di tanah selama tahun Sabbat itu tak boleh diambil oleh orang Israel, haruslah itu dibiarkan untuk diambil oleh orang asing atau orang miskin. Melalui sistim tahun Sabbat ini Israel diajar untuk memikirkan kebutuhan orang lain, disamping untuk menghormati lingkungan dengan tidak hanya mengeksploitasi lingkungan demi keuntungannya saja, namun juga lingkungan yaitu tanah diberi kesempatan untuk memulihkan kesuburannya kembali. Melalui Tahun Sabbat ini Israel diajar menghargai kebutuhan orang lain dan juga diajar bertanggungjawab terhadap pemeliharaan lingkungan dan bukan penghancuran karena manusia itu diciptakan untuk menjaga kelestarian alam yang dengan demikian akan menunjang lingkup hidupnya sendiri demi kebahagiaan manusia Israel itu. Karena demikian dalamnya jangkauan mana Sabbat, dan karena alam itu diciptakan bagi manusia dan Allah menganggapnya sangat baik (Kejadian 1:3) maka pelanggaran atas ketentuan “Tahun Sabbat” ini diancam dengan hukuman pembuangan dan perang sehingga kesucian tanah itu terjaga yaitu Sabbatnya atau perhentiannya dapat terpelihara (Im 26:14-17, 34-35). Jika ada “Hari Sabbat”, “Minggu Sabbat”, “Tahun Sabbat”, maka ada juga “Abad Sabbat” yang terjadi setiap setengah abad atau “7 x Tahun Sabbat” yang disebut sebagai “Tahun Yobel”.


Pada saat ini ada pembebasan besar-besaran atas tanah yang digadaikan dan juga atas budak yang diperhamba. Saat ini orang harus mengembalikan secara cuma-cuma semua yang digadai dan membebaskan tanpa syarat semua budak Israel yang dimiliki. (Im 25:3-55). Jelas Tahun Yobel atau “Abad Sabbat” yang terjadi setiap tahun kelima puluh ini merupakan penerapan makna pembebasan dari Mesir secara budaya dan secara komunitas dari umat Israel, untuk mengajar mereka bahwa segala sesuatu itu adalah pemberian dan milik Tuhan, bahwa bangsa Israel bukan pemilik mutlak atas tanah. Demikian pula atas harta milik di dunia, bahwa mereka itu hanya menumpang pada Allah (Im. 23:23-24), sehingga mengajar mereka untuk bersyukur kepada Allah. Demikian juga pembebasan atas budak tanpa syarat ini untuk mengajar Israel, bahwa pada akhirnya tuan pemilik yang sebenarnya adalah Allah sendiri. Sesama manusia itu hanya sesama hamba Allah, oleh karena itu tak seorangpun berhak menjajah dan memperbudak manusia lain, karena Israelpun telah dilepaskan dari perbudakan manusia di Mesir:” karena padaKulah Orang Israel menjadi hamba; mereka adalah hamba-hambaKu yang Kubawa keluar dari tanah Mesir, Akulah, TUHAN AllahMu” (Im 25:55). Dengan demikian makin jelaslah bagi kita bahwa yang dipentingkan oleh Alkitab mengenai Hari Sabbat itu bagi Israel, bukanlah hanya sekedar masalah hari Sabtunya saja, namun lebih dari itu sebagai penerapan secara langsung makna pembebasan mereka dari Mesir dalam kehidupan individu, masyarakat, social, ekonomi, agama dan bangsa mereka. Yaitu hormat akan kebebasan dan kemerdekaan. Kekebasan dari perbudakan kerja dan waktu (Hari Sabbat), kebebasan dari keterikatan benda jasmani dan harta dengan mempersembahkan buah-buah hasil pertanian (Minggu Sabbat), kebebasan dari keserakahan dan eksploitasi atas alam dan lingkungan secara tak bertanggungjawab (Tahun Sabbat) serta kebebasan dari keserakahan dan kekejaman manusia yang hanya ingin mengeksploitasi kaum lemah (perbudakan) dan mengakumulasi kekayaan tanpa mempedulikan pihak lain yang berada dalam posisi terjepit secara ekonomi (penggadaian atas hak milik rumah dan tanah) yang dinyatakan dalam perayaan Tahun Yobel (Abad Sabbat).

Melihat keutuhan berita alkitab mengenai makna Sabbat ini jelas suatu pemikiran ayang amat kerdil dan sempit bila penekanan hari Sabbat itu hanya pada penggunaan Hari Sabtu sebagai hari berbakti orang Kristen demikian saja. Karena Alkitab menyatakan bahwa Sabat-sabat yang bersifat “Minggu”, “Tahun” dan “Abad” itu jelaslah tidak menekankan pada Sabtunya. Lagi pula merayakan hari Sabbat, tetapi mengabaikan “Minggu Sabbat”, “Tahun Sabbat”, dan “Abad Sabbat” adalah merupakan pelanggaran ajaran kitab suci karena segenap sabat-sabat tadi adalah merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Juga melihat hari Sabbat hanya dengan penekanan hari Sabtunya saja bagi umat Kristen adalah pendangkalan yang amat sangat atas pesan moral Sabbat yang amat merangkum seperti yang telah kita bahas di atas.
Makin tak dapat diragukanlah bagi kita bahwa Sabbat itu adalah sistim ritual- moral- agamawi- social bagi bangsa Israel yang eksistensinya didasarkan pelepasan mereka dari perbudakan di tanah Mesir, sehingga semua jenis sabbat yang mempunyai implikasi yang merangkum itu selalu mengingatkan dan menunjuk pada peristiwa penting dalam sejarah Israel itu. Maka gereja Kristen sebagai yang bukan bagian dari “Bangsa” Israel yang dibebaskan dari Mesir tentulah mempunyai dasar eksistensi yang berbeda, juga dalam hal mengerti makna kebebasan yang merangkum, yang dalam Israel dinyatakan dalam perayaan-perayaan “Hari”, “Minggu”, “Tahun” dan “Abad” Sabbat. Inilah Sabbat yang utuh, bukan hanya hari Sabtu yang lepas dari konteks makna dan syarat pelaksanaannya yang hendak dipaksakan oleh beberapa gereja yang bersifat Sabbatarian semacam Gereja Advent atau Yahudi Messianik.

Bagi umat Yahudi menghayati makna pelepasan mereka dari Mesir yang dinyatakan dalam hukum pratis mengenai Sabbat-Sabbat ini adalah sesuatu yang dapat memperdalam iman mereka kepada Allah, serta makin memperdalam rasa syukur mereka pada nikmat dan karunia Allah yang membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir.

Sehingga melalui pelaksanaan akan ketentuan dan syarat-syarat pengamalan Sabbat-Sabbat seperti yang dinyatakan oleh wahyu Ilahi mereka baik secara individu atau secara komunitas akan makin disadarkan perlunya menyisihkan waktu bagi Tuhan bukan hanya sibuk mementingkan diri mencari kebutuhan jasmani saja (Hari Sabbat), dengan demikian setiap hari Sabbat mereka diperingatkan akan karya dasyat Allah yang telah membebaskan mereka dari Mesir. Demikian juga agar mereka tidak menjadi terlalu materialistis dan menganggap segala sesuatu itu akibat dari usaha dan kepandaiannya sendiri, mereka diingatkan akan ketak-boleh- terikatan mereka pada harta benda namun mengembalikan semuanya pada Allah dalam merayakan “Minggu Sabbat” dimana hasil kerja mereka dalam wujud panenan diserahkan kepada Tuhan.
Dan bahwa hubungan manusia dengan Allah yang diingatkan dalam peristiwa Hari dan Minggu Sabbat itu bukanlah hanya bersifat individualistis saja, namun juga mempunya implikasi terhadap alam dan lingkungan jasmani yang tercipta ini jelas diajarkan oleh Allah pada bangsa yahudi ini melalui perayaan Tahun Sabbat, dan akhirnya kesadaran akan implikasi semestawi dari perayaan Sabbat dalam Tahun Sabbat itu juga harus berkaitan secara praktis dan langsung dengan sesamanya yaitu pembebasan budak dan harta milik yang tergadai yang secara cuma-cuma harus dibebaskan pada “Abad Sabbat” (Tahun Yobel) adalah mengajar bangsa Israel mengenai cinta kasih kepada sesama seperti kepada diri sendiri dalam wujud praktis yang langsung diterapkan.

Ini semua memang mengandung moral yang dalam bagi bangsa Israel, yang tema eksistensi keberadaan dan agamanya adalah pembebasan dari perbudakan dari Mesir. Sehingga dengan melaksanakan semua ketentuan dan syarat hukum pengamalan Sabat-Sabat itu mereka akan diajar menuju kepada kesucian hidup yang serba merangkum. Itulah sebabnya Sabbat itu disebut sarana pengudusan bagi Israel, sebagaimana yang dikatakan: ”akan tetapi hari-hari SabatKu harus kamu pelihara, sebab itulah peringatan antara Aku (Allah) dan kamu (Israel), turun-temurun, sehingga kamu mengetahui bahwa Akulah TUHAN, yang menguduskan kamu” ( Keluaran 31:13). Melalui pemeliharaan Sabbat inilah Israel tahu bahwa Allah menguduskan mereka, yaitu melalui ajaran-ajaran iman dan moral yang disampaikan oleh perayaan-perayaan Sabbat tadi yang disertai dengan segala ketentuan hukum dan syarat-syarat pelaksanaannya. Allah yang menguduskan Israel melalui pemeliharaan Sabbat itu dan perayaan Sabbatlah yang menjadi sarana pengudusan, karena itu adalah tanda perjanjian Allah yang kekal dengan Israel, sebagai yang telah dilepaskan dari perbudakan di Mesir.

Hari Sabbat dan Tanda Perjanjian
 

Alkitab secara keseluruhan dapat kita sebut sebagai Kitab Perjanjian, karena di dalamnya mengisahkan sejarah perjanjian yang dilakukan Allah kepada mansuia-manusia yang dipilihnya. Dan perjanjian itu sendiri dibagi dalam Perjanjian sebelum kedatangan Kristus, yang disebut sebagai Perjanjian Lama, yang pada pokoknya kita sebut Perjanjian Utama: Perjanjian dengan Nuh dan alam semesta, Perjanjian dengan Abraham (Iskak dan Yakub) serta Perjanjian dengan Musa (dan bangsa Israel). Sedangkan puncak dari semua perjanjian tersebut adalah Perjanjian di dalam Yesus Kristus yang disebut Perjanjian Baru. Sebagaimana dikatakan:”Sebab Kristus adalah Ya bagi semua janji Allah” (2 Kor 1:20).

Dalam perjanjian-perjanjian ini Allah memberikan tanda fisik yang sesuai dengan isi perjanjian tersebut. Dalam perjanjian dengan Nuh dan segala makluk, isi perjanjian adalah keputusan Allah untuk tidak menghukum bumi lagi dengan air bah, karena perjanjian ini adalah perjanjian dengan alam semesta agar sejarah manusia dapat berlangsung demi pemenuhannya nanti di dalam Kristus, maka tanda perjanjian yang ada haruslah sesuai dengan isi perjanjian, yaitu sesuatu yang ada di alam luas yaitu “Pelangi” (Bianglala, Busur) Kejadian 9:12-16. Dengan melihat busur Allah ingat perjanjianNya untuk tidak menghukum bumi dengan air bah lagi.

Demikian pula perjanjian Allah dengan Abraham (Kejadian 17). Karena pada Abraham ini Allah menjanjikan keturunan dan melalui keturunan ini bangsa di muka bumi akan diberkati (Kejadian 12:2-3,13:14, 15:12-16), maka “alat” yang melaluinya keturunan Abraham akan muncul itulah yang diberi tanda perjanjian tadi. Kepada Abraham Allah menjanjikan banyak keturunan dan Abraham menjadi Bapa sejumlah besar bangsa (Kejadian 17:1-8), maka Abraham diperintahkan Allah atas alat tadi “haruslah dikerat kulit khatanmu dan itulah menjadi TANDA PERJANJIAN antara Aku dan kamu… maka dalam dagingmulah perjanjianKu itu menjadi perjanjian kekal. Dan orang yang tidak disunat… maka orang itu harus dilenyapkan dari antara orang-orang sebangsanya, ia telah mengingkari perjanjianKu.” (Kejadian 17:11-14). Untuk menggenapai dan mentaati perjanjian inilah Abraham dan keturunannya yaitu seluruh bangsa Israel disunatkan.

Kepada Musa dan Israel Allah memberikan kebebasan dan pelepasan yaitu perhentian dari kerja paksa perbudakan di Mesir. Dan oleh karena itu Israel akhirnya menjadi umat Allah. Untuk memelihara kasih karunia Allah atas perhentian ini tak terlupakan, sama seperti kepada Abraham mengenai janji keturunan itu, maka Israelpun diberi tanda perjanjian atas pelepasan dan perhentian dari perbudakan itu dengan Sabbat, yaitu berhenti bekerja pada hari ketujuh. Sebagaimana yang dikataan:”… hari-hari SabbatKu harus Kaupelihara.. haruslah Kaupelihara hari Sabbat, sebab itulah hari Kudus bagimu, siapa yang melanggar kekudusan hari Sabbat, pastilah ia dihukum mati, sebab setiap orang yang melakukan pekerjaan pada hari itu, orang itu harus dilenyapkan dari antara bangsanya… Maka haruslah orang Israel memelihara hari Sabbat, dengan merayakan hari Sabbat, turun-temurun menjadi PERJANJIAN KEKAL, antara Aku dan orang Israel , maka inilah suatu peringatan untuk selama-lamanya…” (Keluaran 31:12-17). Beberapa hal patut kita catat atas ayat-ayat di atas: sama dengan janji sunat Sabbatpun diberi syarat hukum mati bagi pelanggarnya. Sabbat ini adalah peringatan antara Allah dan orang Israel (bukan bagi orang Kristen atau segenap manusia), memelihara Sabbat artinya merayakan Sabbat, dan cara merayakan itu sudah ditetapkan sendiri oleh Allah dalam Kitab Taurat itu sendiri, jadi dengan cara tradisi lainnya, misalnya tradisi advent. Tidak mengikuti syarat merayakan ini berarti sama saja melanggar ketentuan Allah. Membuat cara merayakan sendiri yang tidak sesuai dengan yang sudah ditetapkan Allah dalam merayakan sendiri yang tidak sesuai dengan yang sudah ditetapkan Allah dalam merayakan Sabbat berarti tetap melanggar Sabbat biarpun kalau hari Sabtunya dipelihara. Untuk mengerti cara-cara merayakan ini, akan kita bahas di bawah nanti.

Dengan demikian jelas bahwa Sabbat itu tanda perjanjian atau bahkan perjanjian itu sendiri, sama dengan sunat dan busur pelangi. Dan Sabbat itu menjadi perjanjian dan peringatan kekal antara “Aku dan bangsa Israel.”  Mengenai tanda perjanjian baru akan kita bahas jika sampai pada waktunya.


Sabbat dan Ibadah Israel

Imamat 19:30, 26:2: “kamu harus memelihara hari-hari SabbatKu dan menghormati tempat kudusKu; Akulah Tuhan”. Dalam ayat ini pemeliharaan Sabbat dan penghormatan akan tempat kudus (kemah suci, tabernakel, Bait Allah) saling dikaitkan. Itu menunjukkan kepada kita bahwa perayaan Sabbat itu bukanlah sesuatu yang vakuum tanpa isi. Asalkan hari Sabtunya saja yang dipelihara , kalau cara-cara melakukannya kita buat sendiri, itu sudah cukup, jelas bukan demikian. Sabbat itu terkait erat dengan tempat kudus yaitu tata-cara Israel di kemah suci.

Untuk lebih jelasnya kita konteks Kitab Keluaran 31 dan 34:18-26, serta Keluaran 35. Dalam Keluaran 31 konteksnya adalah berbicara tentang persiapan pembangunan kemah suci demikian juga dengan Keluaran 35 juga membicarakan tentang pembangunan kemah suci yang sama tadi, namun di tengah-tengah membahas masalah kemah suci inilah Sabbat dibicarakan. Bahkan dalam Keluaran 34:8-26 itu Sabbat dibahas dalam konteks membicarakan korban ibadah dan hari-hari raya Israel. Dengan demikian jelas bahwa bukan hanya kerangka harinya saja yang harus dipelihara, namun Allah juga telah memelihara hukum dan peraturan mengenai cara merayakan Sabbat itu yaitu dalam konteks ibadah Kemah Suci (Bait Allah) dan hari raya-hari raya serta korban ibadah Israel, dengan peraturan serta cara-cara tertentu, bukan di dalam Gereja Advent atau dalam gereja Kristen manapun. Sabtu dipelihara hukum cara merayakan hari Sabtu ini dilanggar adalah tetap juga merupakan pelanggaran dan menurut Taurat, orang demikian wajib dihukum mati dan dilenyapkan. Jika hendak merayakan Sabbat sebagai hukum Allah yang kekal, haruslah konsisten dengan cara pelaksanaannya, bukan copot sini buang sana seperti yang dilakukan oleh sementara orang. Artinya jika ingin secara utuh, konsisten dan lengkap serta Alkitabiah menjalankan Sabbat orang jadi pengikut agama Yahudi (Yudaisme) bukan pengikut iman Kristen.Lalu bagaimana syarat hukum merayakan Sabbat sesuai dengan Alkitabiah itu? Di bawah ini kita bahas.

Syarat Hukum memelihara dan Merayakan Sabbat

Keluaran 20:10:”… maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang ditempat kediamanmu”.
Ulangan 5:14 :”… maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki atau anakmu perempuan, atau lembutmu atau keledaimu atau hewanmu yang manapun atau orang asing yang ditempat kediamanmu, supaya hambamu laki-laki dan hambamu perempuan berhenti seperti engkau juga”.

Imamat 23:3:”enam hari lamanya boleh dilakukan pekerjaan, tetapi pada hari ketujuh haruslah ada Sabbat, hari perhentian, yakni hari pertemuan kudus; janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan (you are not to do any work = kamu tidak boleh melakukan pekerjaan apapun, NIV); itulah Sabbat bagi Tuhan di segala tempat kediamanmu.”
Keluaran 35:3:” Janganlah kamu memasang api dimanapun dalam tempat kediamanmu pada hari Sabbat.”

Ayat di atas itu menjelaskan kepada kita bahwa inti hakekat merayakan Sabbat adalah “berhenti” penuh dari segala pekerjaan. Karena yang dilarang dilakukan bukan hanya “pekerjaaan apapun” tanpa peduli baik atau buruk, itu tidak boleh dilakukan.


Terbukti bahwa pekerjaan yang dilarang itu bukan hanya pekerjaan yang buruk saja, lalu yang baik boleh dilakukan, adalah bahwa hewan manapun, termasuk lembu dan keledai juga harus berhenti bekerja, padahal binatang itu tidak mengenal pekerjaan baik dan buruk. Jadi yang dilarang memang tidak mengenal sifat pekerjaan, namun asal itu pekerjaan harus berhenti penuh tak boleh dilakukan, bahkan yang paling kecil asal itu pekerjaan dilarang dilakukan pada hari Sabbat ini, misalnya “memasang api.”

Pokok kata tidak berbuat sesuatulah pada hari Sabbat. Dengan demikian maka makin memperkuat penegasan kita bahwa bukan hari Sabtunya sebagai harilah yang ditekankan pada merayakan Sabbat ini, namun makna dan isi dari merayakan itu yang menjadi focus, karena orang asingpun diperintahkan untuk tidak bekerja jika mereka tinggal di tengah-tengah orang Israel, demikian juga budak-budak, padahal Alkitab juga melarang Israel untuk memperbudak sesama Israel namun hanya orang-orang kafir diantara bangsa-bangsa non Israel saja (Imamat 25:39-45), yang berarti orang-orang kafir yang tidak berada di bawah kuasa hukum Allah yaitu yang tak terikat pada ketentuan-ketentuan hukum Sabbat ini, berhenti dari pekerjaan bukan karena merayakan Sabbat, namun hanya berhenti demi berhenti dari pekerjaan. Sebab jika mereka merayakan Sabbat berarti mereka berhenti jadi kafir, dengan demikian tak boleh jadi budak lagi namun sama dengan Israel artinya sebagai budak mereka itu bukan Israel, sehingga mereka tak melakukan ibadah Sabbat yang ditetapkan Allah. Jadi berhenti mereka dari melakukan pekerjaan bukanlah karena merayakan untuk beribadah, namun demi berhenti itu sendiri. Makin jelaslah bahwa hakekat Sabbat itu berkaitan erat dengan tidak boleh melakukan pekerjaan apapun, sebagai tanda langsung atas “berhentinya” Israel dari “pekerjaan” sebagai budak di Mesir.
Karena inti dan hakekat Sabbat itu berkaitan erat dengan tanda “berhenti”nya Israel dari “pekerjaan” sebagai budak, maka pelanggaran atas ketentuan hakekat itu sama saja menyerang inti makna Sabbat, berarti melecehkan bahkan menghujat karya pembebasan dan “perhentian” yang dilakukan oleh Allah terhadap Israel.

Itulah sebabnya dalam kacamata orang Yahudi Yesus betul-betul menghujat makna Sabbat, karena penekanan Yesus justeru pada melakukan atau berbuat sesuatu. “Lihatlah, murid-muridMu BERBUAT SESUATU yang tidak diperbolehkan pada hari Sabbat” (Matius 12:2), “karena itu boleh BERBUAT BAIK pada hari Sabbat” (Matius 12:12), “manakah yang diperbolehkan pada hari Sabbat, BERBUAT BAIK ATAU BERBUAT JAHAT…” (Markus 3:4) Tindakan Yesus ini tidak dapat didamaikan dengan ketentuan hukum Sabbat yang ada dalam Taurat di atas arena jelas tidak memberi syarat “hanya perbuatan/pekerjaan baik saja yang dilakukan” atau hanya perbuatan/pekerjaan jahat yang dilarang”. Bahkan para murid Yesus “berbuat sesuatu” itu merupakan kontradiksi secara langsung dengan hukum “jangan melakukan SESUATU PEKERJAAN” (Keluaran 20:10, Ulangan 5:14, Imamat 3:3). Justru yang dilarang dilakukan adalah ‘SESUATU’ itu, namun malah ‘SESUATU’ itu juga yang dilanggar murid-murid Yesus. Taurat tidak memberi syarat ‘SESUATU’ tadi itu baik atau jahat, namun Yesus mengubah dan memporakporandakan ketentuan itu dengan memberikan syarat yang tak ada dalam Taurat, yaitu “boleh berbuat baik”. Dalam kacamata Perjanjian Lama dan orang-orang Yahudi yang tahu hukum Perjanjian Lama jelas Yesus itu melanggar dan menurut hukum Dia memang patut dihukum mati. Untuk itulah sebagai orang Kristen jelas tak mungkin Sabat itu diambil-alih begitu saja langsung diterapkan pada kehidupan Gereja, namun sikap, ajaran, dan kehidupan serta pribadi Yesus Kristus itu haruslah diperhitungkan jika ita hendak mengerti bagaimana seharusnya sikap Kristen terhadap Sabat. Betulkah manusia Kristen terikat pada perjanjian kekal Sabat yang merupakan perjanjian Allah dengan Israel? Betulkah pengalaman sejarah Kristen itu didasari pada peristiwa pelepasan dari perbudakan Mesir yang Sabat itu sendiri menjadi tanda perjanjian itu secara langsung? Kalau bukan, peristiwa apa yang mendasari perjanjian Allah dengan komunitas Kristen ? Inilah yang akan kita bahas lebih lanjut dalam bab-bab berikut ini.

Masih berbicara masalah sikap Yesus, thesis Taurat bahwa Sabat itu dilakukan karena Allah berhenti bekerja pada hari ketujuh (Kejadian 2:2-3, Keluaran 20:11) itu ditolak oleh Yesus dan dijungkirbalikkan dengan pernyataannya: “BapakKu bekerja sampai sekarang” (Yohanes 5:17) sebagai koreksi atas pernyataan “Ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan” (Kejadian 2:2-3). Pernyataan Kejadian 2:2-3 itu hanya boleh dimengerti berdasarkan ajaran Yesus, bahwa bukanlah Allah yang berhenti bekerja, namun alam semesta ini telah selesai diciptakan, Allah sendiri tak henti-hentinya sampai sekarang, memelihara, menghidupi, menopang, membimbing, mencipta manusia baru yaitu bayi-bayi dan lain-lain. Jadi memang tidak pernah ada saatnya Allah itu berhenti bekerja, dahulupun tidak, sekarangpun tidak, pada hari ketujuhpun tidak. Maka Sabat itu diperintahkan bukan karena memang betul ada perhentian pada Allah seolah-olah Dia itu manusia yang perlu istirahat. Mahasuci Allah dari sifat-sifat kelemahan seperti itu. Maka jika para pengikut faham Sabbatisme atau hari ketujuhisme ini hendak merujuk pada “perhentian” kerja Allah, harap diingat bahwa Allah tak pernah berhenti bekerja, yang berhenti adalah selesainya pekerjaan penciptaan.

Memang Sabat itu sebagai hari peringatan karya Allah atas terciptanya bangsa Israel melalui pembebasan dari Mesir, haruslah merupakan “hari kenikmatan”, “hari mulia”, bagi Israel, dimana merea dilarang “melakukan urusan” dengan “tidak menginjak-injak hukum Sabat” serta menghormatinya” dengan tidak menjalankan segala acara”, “dengan tidak mengurus urusan” atau “berkata omong kosong” (Yesaya 58:13-14), namun bagi Gereja? Permasalahannya jadi lain; karena terciptanya atau lahirnya Gereja bukanlah dari peristiwa pembebasan dari tanah Mesir, dan bukan dari “pekerjaan” secara jasmani yang dipaksakan oleh siapapun. Gereja lahir dan tercipta karena kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Maka umat Kristen (yang bukan umat Israel secara fisik) harus mengingat peristiwa mendasar ini, bukan mencangkokkan sesuatu yang bukan merupakan pengalaman sejarah eksistensinya. Memang sungguh tak masuk akal jika kemerdekaan bangsa Indonesia harus dirayakan sesuai dengan tanggal perayaan kemerdekaan bangsa Jepang. Sama juga tidak masuk akal dan sesatnya memaksakan tanda perjanjian pembebasan Israel dari Mesir kepada gereja yang bukan dibebaskan dari Mesir, bukan oleh peristiwa keturunan namun dibebaskan dari dosa dan maut oleh peristiwa penyaliban, kematian dan kebangkitan Kristus.

Hari Sabbat  Dasar Sejarah Perjanjian Baru

Telah kita bahas bahwa Keluaran dari Mesir itulah dasar sejarah dan peristiwa yang di dalamnya Perjanjian Lama itu dibuat oleh Allah dengan Israel, dengan Sabbat sebagai tanda dan meterai Perjanjian tadi. Perjanjian Baru memiliki peristiwa Yesus (penjelmaan, penyaliban, kematian, kebangkitan dan kenaikan Yesus Kristus) sebagai dasar pemberitaan dan pengajaranNya.

Yohanes dalam Injilnnya mengatakan: “ Firman itu telah menjadi manusia “ (Yoh 1:14), artinya bukan lagi menjadi loh batu yang ditulis atau huruf-huruf Ibrani dari kitab Taurat. Sekarang Firman Allah bukan lagi berwujud hukum dan ketentuan-ketentuan legalistik Taurat, namun menjadi manusia Yesus Kristus. Inilah yang diberitakan para Rasul, seperti juga yang dijelaskan oleh Yohanes dalam suratnya yang pertama:”Apa yang telah ada sejak semula, yang TELAH KAMI DENGAR, yang TELAH KAMI LIHAT DENGAN MATA kami, yang TELAH KAMI SAKSIKAN, dan yang TELAH KAMI RABA DENGAN TANGAN kami tentang FIRMAN HIDUP itulah yang kami tuliskan kepada kamu” ( 1 Yoh 1:1). Karena telah didengar, dilihat dengan mata, disaksikan, dan diraba dengan tangan, sebagai suatu makluk jasmani yang hidup sebagai manusia itulah Kristus disebut Firman hidup, berbeda dengan kitab Taurat yang adalah benda mati yang tertulis. Itulah hukum tertulis, itu mematikan, kata Paulus (II Korintus 3: 6) . Hanya Firman yang hidup itulah yang menghidupkan. Dengan kata lain peristiwa Yesus (Firman) sebagai manusia yang hidup itulah yang menjadi inti dan dasar berita para Rasul yang diberitakan dengan lisan maupun dalam Tulisan.


Dan dari seluruh peristiwa Firman menjadi manusia yang hidup ini maka yang sangat sentral dan penting adalah peristiwa penyaliban, kematian dan kebangkitanNya, sebagaimana yang dikatakan oleh Paulus: “ sebab YANG SANGAT PENTING telah kusampaikan kepadamu… ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan kitab suci, bahwa Ia telah dikuburkan dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga… bahwa Ia telah menampakkan Diri…” (1 Kor 15:3-5). Inilah fondasi dari iman Kristen, bukan Taurat, bukan Sinai dan jelas bukan Sabbat, sebab “ jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu” (1 Kor 15:17). Iman kita punya makna hanya karena Kristus telah bangkit dan kita dilepaskan dari dosa dan maut, (sebagaimana yang dikatakan:”… oleh kematianNya , Ia memusnahkan maut yaitu iblis… dengan jalan demikian ia membebaskan mereka yang seumur hidupnya berada dalam Perhambaan … (Ibrani 2:14-15) ayat ini menjelaskan bahwa manusia memang tidak bebas dan berada dalam perhambaan atau perbudakan, namun bukan perbudakan Mesir seperti Israel, tetapi perbudakan iblis dan maut.
Dan kematian Kristuslah yang membebaskan manusia dari perhambaan ini. Jelas kalau begitu perhambaan dan perbudakan oleh manusia sebelum percaya Kristus tak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan fisik seperti perbudakan dan perhambaan Israel dari Mesir, namun perbudakan maut, iblis, kelapukan dan dosa. Serta pelepasan mereka bukanlah pelepasan untuk menjadi suatu komunitas bangsa secara fisik dalam lokasi wilayah negara tertentu dengan ketentuan hukum sosial, politik dan keagamaan tertentu, namun pelepasan untuk mendapatkan hidup kekal di dalam Kristus. Maka jelas kalau begitu Sabbat tidak mempunyai sangut paut dengan peristiwa semacam itu. Sabbat yang intinya “berhenti kerja” karena memang merupakan peringatan “berhenti kerja”nya Israel dari perhambaan. Maka terlepasnya orang Kristen dari dosa, iblis , kelapukan dan maut haruslah bukan yang bersifat “berhenti bekerja’, namun yang ada sangkut paut dengan “hidup kekal” yaitu Kristus itu sendiri. Pemaksaan Sabbat pada Gereja Kristen berarti pencangkokan benalu yang merusak makna keselamatan dalam Kristus itu sendiri.

Karena makna Sabbat itu dipaksakan bagaimanapunn juga tak akan dapat menyelaraskan diri dengan peristiwa mendasar dari sejarah pembebasan dan keluaran dari dosa, iblis, kelapukan dan maut yang telah terjadi oleh kematian dan kebangkitan Kristus itu sendiri. Dengan demikian penggabungan mana Sabbat dengan kebangkitan Kristus itu tidak ada secara hakiki. Akhirnya hanya akan menimbulkan kekacauan fokus dan cara pikir saja, sehingga timbullah teologi tambal-sulam yang tidak konsisten dengan fakta kebenaran iman Kristen itu sendiri. Jadi untuk fokus kita terang mengenai makna keselamatan di dalam Kristus, haruslah kita juga terang apakah tanda Perjanjian Baru yang khas bagaimana Sabbat itu adalah tanda Perjanjian Lama dengan Israel.

Patut diperhatikan bahwa Perjanjian Baru keseluruhannya tak pernah memberitakan sedikitpun mengenai sentralitas dan pentingnya Sabbat ini. Jika Sabbat itu disinggung hanya karena konflik yang muncul antara para murid Yesus dengan orang-orang Yahudi mengenai masalah perayaan Hari Sabbat itu saja dan juga karena lingkup sejarah penulisan Perjanjian Baru itu adalah diantara bangsa Yahudi sehingga dalam menghitung waktu dan hari tak mungkin lepas begitu saja tanpa menyebutkan Hari Sabbat. Tetapi Sabbat itu sendiri tidak pernah menjadi inti berita Perjanjian Baru. Kristus dan karyaNyalah focus berita Perjanjian Baru. Bukan Hukum Sepuluh dan jelas bukan Sabbat.

Sabbat Dalam Hidup Kristus

Di atas kita telah bahas mengenai sikap Yesus dan ajaranNya mengenai sabbat, yang pada pokoknya Yesus mengubah dan memporakporandakan makna sabbat sebagai hari untuk berhenti dari melakukan sesuatu pekerjaan menjadi hari “melakukan sesuatu pekerjaan yang baik”. Dengan demikian Yesus sudah memulai suatu perombakan makna dari Sabbat sebagai tanda perjanjian yang berpusat pada pengalaman keluaran dari Mesir, menjadi peristiwa yang berpusat pada DiriNya. Hal ini dibuktikan pada saat Dia ditantang kaum Ulama Yahudi, Dia mempertangung-jawabkan perbuatanNya dengan mengatakan:”karena Anak manusia Tuhan atas hari Sabbat” (Matius 12:8). Sebagai Tuhan (Penguasa) “atas” hari Sabbat, berarti Yesus berkuasa melakukan apapun atas hari Sabbat itu termasuk mengubah dan memberikan makna yang baru. Dengan demikian Yesus tidak tunduk pada ketentuan “berhenti dari pekerjaan apapun” sabbatlah yang harus tunduk kepada Yesus, karena Yesus adalah Tuhan (Penguasa) “atas” hari Sabbat.

Memang setiap hari Sabbat “menurut kebiasaanNya… ia masuk ke rumah Ibadat (Luk 4:16), namun dia melakukanNya bukan karena Sabbat dan segala ketentuannya itu berkuasa “atas” dia, justru sebaliknya dia masuk ke rumah Ibadat setiap hari Sabbat itu untuk menunjukkan bahwa sekarang bukan lagi Sabbat yang harus menjadi tanda perjanjian justru DiriNyalah yang berkuasa atas segala sesuatu termasuk hari sabbat, sehingga manusia hidup buakan lagi untuk hari Sabbat artinya tujuan hidup manusia bukan digunakan untuk mengabdi pada sabbat, namun sebaliknya “hari Sabbat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabbat” (Markus 2:27). Sabbat menjadi pada kepentingan manusia.

Itulah sebabnya tak pernah sekalipun Yesus dalam pengajaranNya meninggikan atau menyanjung Sabbat, Dia membicarakan tentang sabbat hanyalah dalam konteks konfrontasi perjumpaanNya dengan pemimpin agama Yahudi yang menentang sikapnya terhadap Sabbat yang justru oleh mereka dilihat sebagai hujatan dan bertentangan dengan ketetapan dari Kitab Suci perjanjian Lama.

Kita berjumpa lagi dengan masalah sabbat ini pada akhir kehidupan Kristus, yaitu pada saat penyaliban, kematian-penguburan dan kebangkitanNya. Namun bukan Kristus sendiri yang membahas Sabbat dalam konfrontasinya dengan orang-orang Yahudi, tetapi para murid yang menulis Injillah yang menyebutkannya, bukan sebagai bukti bahwa para murid itu mengajarkan supaya Sabbat itu dipelihara sebagai perintah Kristus, namun hanya sebagai sarana penghitungan waktu untuk menjelaskan saat dan hari ketika dimana Kristus disalibkan, mati dan bangkit itu, dengan menggunakan perhitungan hari menurut budaya Yahudi karena Yesus memang orang yahudi dan ditengah-tengah bangsa yahudi itu Dia mengalami penyaliban, kematian, penguburan dan kebangkitanNya itu.

Matius menerangkan saat dan hari ketika Yesus mengalami derita akhir dari hidupNya itu demikian, sesudah membicarakan saat malam Yesus diolok dan dicemooh dan paginya (hari Jumat) dibawa menghadap Pilatus (Matius 27:1-2), dan disalibkan pada hari itu juga.:”keesokan harinya, yaitu sesudah hari persiapan, datanglah imam-imam kepala dan orang-orang Farisi bersama-sama menghadap Pilatus (Matius 27:62). Jadi menurut ayat ini hari ketika Yesus disalibkan dan dikuburkan dalam ayat-ayat sebelumnya, Matius 27 ini disebut oleh Matius (perhatikan: bukan oleh Yesus) sebagai ”Hari Persiapan” (parskevee), yaitu hari Jumat sebagai “Hari Persiapan” bagi orang Yahudi untuk merayakan hari Sabbat. Sedangkan dalam Matius 28:1, ketika para murid wanita mengunjungi kuburan pada saat kebangkitan Yesus disebut demikian:” setelah hari Sabbat lewat… pada hari pertama Minggu itu”, yang menunjukkan bahwa Yesus tidak melakukan apapun secara fisik diantara hari persiapan sampai dengan hari Pertama minggu itu, yaitu selama hari sabbat itu Yesus berada di kuburan pasif tergeletak seolah-olah beristirahat dari semua karyaNya selama enam hari bagi penciptaan baru atas dunia ini, sejak Minggu Palem (Matius 21:1-23), Senin Kudus (Matius 24:3-35), Selasa Kudus (Matius 24:36-26:2), Rabu Kudus (Matius 26:2-16) “dua hari lagi akan dirayakan paskah”(ayat 2) menunjukan saat itu hari Rabu, karena Paskah terjadi hari Sabtu ), Kamis Kudus (Matius 26:7-75), dan Jumat Agung (Matius 27:1-61) dan pada hari Sabtu yaitu hari ketujuh Yesus berhenti atau beristirahat dari segala karya penciptaan baru yang dilakukanNya selama enam hari di dalam kuburan menanti penggenapannya yang dimeteraikannya segala karya tadi oleh kebangkitan, pada hari sesudah Sabbat lewat, yaitu hari pertama Minggu itu hari Pertama atau hari Satu itulah hari Ahad dalam bahasa Arab. Dan karena hari ahad (satu) itu adalah hari Kebangkitan Tuhan sebagai puncak dari karyaNya selam enam hari dan beristirahat selama hari ketujuh dalam kuburan, maka hari pertama itu disebut hari Tuhan (Kuriakee/Kyriaki) yang sampai sekarang masih disebut demikian dalam kalender Gereja Orthodox dan kalender nasional negara Yunani, yang kata kuriakee (kyriaki dari kata kyrios-Tuhan) itu disebut dalam bahasa Portugis “dominggos” (Hari Tuhan) dan menjadi bahasa Indonesia Minggu.

Demikianlah dalam penciptaan baru Allah melalui sabdaNya yang menjelma, berkarya selama enam hari dan beristirahat pada hari ketujuh di dalam tergeletaknya Sang Sabda menjelma ini di dalam kuburan. Namun berbeda dengan perciptaan lama dimana padahari ketujuh itu sudah lengkap selesai penciptaan itu, dalam penciptaan baru ini, selesai dan puncak karya selama enam hari bagi penebusan sejak Minggu Palem itu bukan pada hari terkuburnya atau beristirahatNya Kristus dalam kuburan, namun kebangkitanNya pada ahad atau hari pertama, karena jika “Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu”( 1 Kor 15:17).

Itulah sebabnya jika hari ketujuh sebagai hari perhentian itu harus dirayakanpun maknanya sudah berbeda dari Sabbat dalam Perjanjian lama. Ini harus berpusat pada karya penciptaan baru yang dilakukan Kristus selama seminggu kesengsaraanNya atau Pekan Sengsara itu. Dengan demikian hari Sabbat sekarang mengingat saat penguburan atau perhentian Kristus dari segala karyaNya untuk menunggu penggenapannya dalam hari kebangkitanNya yang terjadi pada hari Pertama (Hari Ahad = hari Minggu) tadi. Itulah sebabnya dalam Gereja Purba yang tetap dilakukan oleh gereja Orthodox sampai sekarang, Sabbat itu tetap hari Sabtu, bukan Minggu, namun makna Sabbat itu berbeda dari makna yang diberikan oleh Perjanjian Lama. Bukan lagi itu tanda Perjanjian pelepasan dari Mesir, namun sebagai peringatan akan perhentian karya Kristus di dalam kuburan, dengan demikian meskipun kita merayakan hari Sabtu sebagai hari Sabbat kita tak terikat lagi pada ketentuan-ketentuan Sabbat seperti yang digariskan oleh Kristus sendiri. Dan hari Sabbat sebagai peringatan hari perhentian (penguburan) Kristus itu dirayakan dengan menjalankan ibadah sembahayang senja, yang lambang-lambang ibadah itu secara detail menggambarkan keberadaan Kristus dalam kuburan tadi. Dengan demikian hari Sabtu tak dilanggar, ketetapan-ketetapan Tauratpun tak dilanggar, karena sekarang kita bebas dari ketentuan Sabbat dalam Taurat, namun terikat dengan Kristus dalam peringatan deritanya tadi. Namun karena hari Tuhan itu adalah hari Pertama tadi, yaitu pada hari Minggu, dimana pada hari Tuhan ini kita dipersatukan dengan Tubuh Tuhan yang bangkit itu melalui perayaan Perjamuan Kudus yang dirayakan setiap kali kita bertemu pada hari Tuhan ini. Jadi jelas Minggu itu bukan Hari Sabbat, namun hari Tuhan. Ini bukan perayaan hari perhentian namun perayaan hari Kebangkitan. Sedangkan Sabtu itulah Sabbat, namun bukan sebagai tanda Perjanjian Keluaran dari Mesir, justru sebagai peringatan hari Perhentian Kristus dalam kuburan. Dengan demikian Sabtu itu bukan hari terpuncak, namun harus dimeteraikan oleh Hari Kebangkitan ( Hari Ahad = Hari Pertama).


Dengan demikian kita melihat suatu ajaran Alkitab yang konsisten dan bersifat Kristosentris. Sabbat tetap Sabtu, dan harus dirayakan sebagai peringatan perhentian Kristus dalam kuburan, namun itu bukan akhir pada diriNya sendiri karena harus dimeteraikan oleh peringatan Hari kebangkitan, yaitu Hari Minggu. Maka kita diselamatkan terhadap main copot ayat-ayat Alkitab, tanpa melanggar yang ini atau yang itu dan tanpa berjalan terpincang-pincang sebentar lari ke Taurat lalu sebentar lagi lari ke Injil.

Adalah suatu kekeliruan besar jika kita mengatakan bahwa Sabbat itu sudah diganti hari Minggu. Dalam kalender resmi Orthodox yang juga kelender nasional negara Yunani hari Sabtu itu disebut “Sabbato”. Jelas Sabbat itu hari Sabtu. Dan juga suatu kekeliruan besar mengatakan bahwa hari Minggu atau “Hari Tuhan” itu berasal dari perayaan kafir. Sabbat tetap Sabtu, seperti yang sudah kita katakan, namun itu harus dimeteraikan oleh perayaan hari kebangkitan yaitu Hari Minggu. Bagaimana suatu peringatan dari peristiwa maha penting ini dianggap sebagai perayaan agama kafir, adalah suatu yang merupakan teka-teki besar?

Dalam Perjanjian Baru tak ada satupun perintah yang menyuruh orang Kristen untuk merayakan hari Sabtu sebagai hari perhentian yang harus dirayakan. Jika dalam Injil disebutan tentang hari persiapan, hari Sabbat dan hari pertama dalam konteks kesengsaraan Yesus, itu hanya merupakan perhitungan saat sesuai dengan budaya Yahudi, namun bukan suatu perintah bagi orang Kristen dan bukan pula merupakan bukti bahwa itu adalah perintah yang harus dijalankan. Ingat, bahwa waktu Yesus mati itu Gereja belum ada orang Kristen, dalam pengertian kita sekarang masih belum ada. Yang ada adalah orang-orang Yahudi yang terikat dengan hukum-huum agama Yahudi termasuk perintah Sabbatnya, yang mempercayai bahwa Yesus itulah Mesias. Namun mereka belum merasa sebagai suatu komunitas agama yang terpisah dari bangsa Yahudi. Gereja baru lahir pada saat Roh Kudus turun di hari Pentakosta. Itupun tak langsung membuat para rasul itu sadar akan misi mereka bagi orang-orang non Yahudi (Kis 10:28-29), sehingga Petruspun mula-mula merasa keberatan untuk datang ke rumah Kornelius. Beberapa tahun kemudian barulah orang-orang Kristen sadar akan keberadaan mereka dari umat Yahudi. Herankah kita kalau beberapa diantara mereka masih terikat hukum-hukum ketentuan Sabbat dalam Perjanjian lama, sehingga makna Kristus itu sendiri baru secara perlahan-lahan terhayati secara paripurna. Melihat latarbelakang ini maka kita tak mungkin menganggap sebutan akan nama-nama hari secara Yahudi dalam masa-masa akhir hidup Yesus itu sebagai perintah bagi Gereja Kristen. Itulah cara budaya Yahudi menghitung waktu, tak lebih dan tak kurang.


Hari Sabbat Dan Hari Pertama Dalam Perjanjian Baru

“Alkitab tidak pernah memerintahkan kita merayakan Hari Minggu” demikian celoteh banyak orang. Namun Kitab Suci Kristen “Perjanjian Baru”pun tidak pernah memerintahkan orang merayakan hari Sabtu, demikian sambut yang lain. Kedua pernyataan yang demikian ini menunjukkan kesalah-fahaman yang besar mengenai mana Kitab suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Iman Kristen mengajarkan bahwa Wahyu ilahi itu bersifat berkembang secara perlahan-lahan, yang seluruh perkembangan itu akhirnya berpuncak pada Yesus Kristus. Itulah sebabnya penulis surat Ibrani mengataan bahwa “pada zaman akhir ini” Allah berbicara di dalam “AnakNya” (Ibrani 1:1). Hal yang sama dikatakan Paulus ketika Dia mengatakan: ”Sebab Kristus adalah kegenapan hukum Taurat” (Rom 10:4), dan ketika Dia mengatakan “karena itu janganlah kamu biarkan orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru atau Sabbat semuanya itu hanyalah bayangan… sedangkan wujudnya ialah Kristus”( Kolose 2:16-17). Yang ini ditandaskan lagi oleh Kristus: ”janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau Kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya melainkan UNTUK MENGGENAPINYA”( Matius 5:17). Kristuslah wujud dan kegenapan hukum Taurat. Karena wujud dan kegenapan hukum taurat itu bukan berwujud ajaran tertulis seperti Hukum Taurat itu sendiri namun berwujud “Firman.. menjadi manusia”( Yoh 1:14), maka yang menjadi landasan beriman dan berbuat serta beribadah bagi umat Kristen bukanlah hanya sekedar apa yang pernah diperintahkan saja oleh Yesus, seperti perintah-perintah Taurat, namun segala tingkah-laku, peristiwa, ajaran dan bahkan kepribadian Kristus itu sendiri menjadi landasan iman, ibadah, akhlak dan tingkah laku Kristen. Ringkasnya Yesus dalam keutuhan pribadi dan keberadaanNya itulah Firman yang harus menjadi landasan hidup Kristen.

Sebagai Firman yang menjelama dalam sejarah, maka sejarah hidup Yesuslah sekarang menjadi hari peringatan yang harus dirayakan sebagai suatu tanggapan ucapan syukur kepada Allah, meskipun kalau bukan secara terang-terangan dikatakan harus dirayakan. Karena Injil yaitu Perjanjian Baru itu tak terdiri dari hukum tertulis namun hidup oleh Roh Kudus, sehingga Roh yang membangkitkan Kristus itu (Rom 8:11) akan mendorong orang Kristen untuk merayakan karya besar yang telah dilakukanNya pada hari Kristus dibangkitkan. Oleh dorongan hidup Roh inilah orang Kristen merayakan Hari Kebangkitan. Bukti bahwa hari kebangkitan ini sudah diperingati akan tampak dalam hal-hal berikut ini: “ketika hari sudah malam pada hari pertama minggu itu berkumpullah murid-murid Yesus di suatu tempat dengan pintu-pintu terkunci karena mereka takut kepada orang-orang Yahudi”( Yoh 20:19). Para murid jelas berkumpul pada hari minggu, hari Pertama. Namun para Pembela Sabbat Yahudi, bukan Sabbat Kristen yaitu hari penguburan Kristus, menyanggah dengan mengatakan bahwa mereka berkumpul hari minggu karena takut pada orang-orang Yahudi bukan untuk merayakan kebangkitan, namun dalam struktur bahasa aslinya menunjukan bahwa takut orang Yahudi itu tidak menerangkan tertutupnya pintu. Artinya mereka berada di tempat tertutup karena takut pada orang Yahudi. Jadi bukan karena takut orang Yahudi lalu berkumpul pada hari minggu. Logika juga mengatakan jika orang takut akan masyarakat maka akan bertemu di tempat tersembunyi. Jadi Minggu bukan sebagai akibat dari takut orang Yahudi, namun tertutupnya pintu itu dilakukan karena takut pada orang Yahudi. Maka jelas hari pertama itu sudah merupakan hari pertemuan para murid. Pertemuan hari minggu ini rupanya dilanjutkan lagi pada saat “delapan hari kemudian murid-murid Yesus berada kembali dalam rumah itu” (Yoh 20:26), yang dalam dua peristiwa ini selalu Yesus hadir di tengah = tengah mereka. Bahwa pertemuan hari minggu itu akhirnya menjadi kebiasaan umat Kristen; dapat kita lihat dari Kisah 20:7 “ pada hari pertama dalam Minggu itu, ketika kami berkumpul untuk memecah-mecahkan roti” juga dalam tulisan Paulus” pada hari pertama dari tiap-tiap minggu hendaklah kamu masing-masing… menyisihkan sesuatu “( 1Kor 16:2). Para pembela Sabbat Yahudi akan mengatakan bahwa itu suatu kebetulan saja, tak ada makna tertentu atas penyebutan hari pertama itu. Kalau hanya kebetulan saja, maka Alkitab berarti berisi sesuatu yang tak dapat dipakai sebagai landasan hidup dan hanya terasa omong kosong saja. Pula jika itu suatu kebetulan mungkinkah yang kebetulan itu sampai diulang beberapa kali, dan semuanya dalam konteks ibadah. Dua yang yang pertama berkumpul dimana Yesus hadir di tengah-tengah mereka dan yang satu dalam konteks Perjamuan Kudus, serta yang terakhir dalam konteks memberikan persembahan. Pula bukanlah Alkitab mengatakan bahwa “… dengan keterangan dua atau tiga orang saksi suatu perkara sah”( II Kor 13:2), pada hal di sini ada empat saksi, dan bukan hanya sebagai suatu kebetulan saja? Pula tak ada bukti satupun dalam Alkitab yang menunjukkan bahwa Kristus berada di tengah-tengah pertemuan muirdNya pada Hari Sabtu. Padahal pertemuan Kristen adalah untuk mengundang hadirnya Kristus dan Alkitab menunjukan bahwa Kristus hadir dalam pertemuan itu justru hari Minggu, hari pengaiatan kebangkitaNya sendiri. Jika dalam Perjanjian Baru ada bukti bahwa para murid terutama Paulus berbakti pada hari Sabtu, itu sebagai hari pertemuan (Kis 13:13-49), dan itupun demi pemberitaan Injil. Pun tak ada bukti satupun yang menunjukkan hari Sabtu sebagai hari yang disanjung oleh umat Kristen di dalam Perjanjian Baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar