Kamis, 05 September 2013

Haram dan Halal


Oleh: Arkhimandrit Rm. Daniel Byantoro

Pendahuluan

Iman Kristen adalah keyakinan yang bersifat rahmat/kasih-karunia dan bukan bersifat syariat (hukum), karena Kitab Suci mengajarkan: ” …karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri” (Efesus 2:8-9).

Oleh karena itu kosa-kata “haram” dan “halal” yang berasal dari Ilmu Fiqih Islam (Ilmu Hukum Islam) itu sebenarnya memang tidak tepat digunakan dalam konteks Iman Kristen. Sebab keselamatan yaitu lepas dari kuasa Maut, Dosa dan Iblis, dan menyatu kepada Kemuliaan, Kekudusan, Hidup Kekal, milik Allah yaitu mengalami “ambil bagian dalam kodrat Ilahi” (II Petrus 1:4), serta menjadi “sama seperti Dia” (I Yohanes 3:21) dan pada akhirnya nanti terjadi seperti yang dikatakan Sang Kristus sendiri: “di tempat di mana Aku berada, kamu pun berada” di rumah Bapa (Yohanes 14:2), dan “di mana pun Aku berada, mereka juga berada bersama-sama dengan Aku” (Yohanes 17:24), serta pada saat itu kita yang percaya “akan bercahaya seperti matahari dalam Kerajaan Bapa” (Matius 13:43) itu terjadi bukan karena akibat menjalankan aturan hukum ritual Taurat apapun. Ini semua terjadi bukan karena akibat dari kita mengumpulkan sekian banyak “pahala” karena menjalankan aturan hukum, namun karena kasih-karunia/rahmat Allah semata.

Maksudnya bukannya berasal dari “pahala” sebagai akibat mengikuti aturan hukum yang bersifat “halal” dan “haram” yang menjadi landasan dasar kita diselamatkan seperti yang kita maksud diatas itu. Namun keselamatan yang demikian itu terjadi karena Kristus telah mati di Kayu Salib dengan demikian mengalahkan kuasa Dosa (I Yohanes 3:8), serta mati dikuburkan dan bangkit, dengan demikian mengalahkan Iblis (Ibrani 2:14), serta bangkit dari antara orang mati dan tidak mati lagi selamanya karena “maut tidak lagi berkuasa atas Dia” (Roma 6:9), dengan demikian “mematahkan kuasa maut dan mendatangkan hidup yang tidak dapat binasa” (II Timotius 2:10). Karya Kristus inilah yang mendatangkan keselamatan, dan manunggal dengan Kristus yang telah menyelesaikan Karya Penebusan atau Karya Keselamatan yang seperti itulah yang menyebabkan kita diselamatkan seperti yang kita maksud diatas. Allah sendirilah yang karena “begitu besar kasihNya akan dunia ini” (Yohanes 3:16) dengan mengutus FirmanNya turun dari sorga (Yohanes 13:13) “menjadi manusia” (Yohanes 1:14) yang memungkinkan keselamatan yang demikian itu terjadi. Jadi keselamatan itu memang “pemberian Allah” dan “bukan hasil usahamu” serta “itu bukan hasil pekerjaanmu”.

Dengan demikian dalam kita membahas boleh atau tidaknya kita makan darah, atau makan kadal, atau makan “paniki” (“daging kalong” masak pedas, yang dilakukan di Manado) atau makan tikus sawah (juga dilakukan di Manado), atau makan cacing, atau makan daging anjing, atau makan daging babi (terutama di tanah Batak dan di Manado) , atau makan apapun, kebenaran hakiki dari Injil ini tak boleh dilupakan. Kebenaran berita gembira keselamatan ini yang harus menjadi tolok ukurnya, dan bukan comotan satu ayat Alkitab yang kemudian dijadikan mutlak yang kita jadikan landasannya. Apalagi jika kemudian ayat yang dicomot tadi dijadikan sarana menghakimi orang lain, terutama dalam hal boleh atau tidaknya kita makan sesuatu.

Permasalahan

Diantara sebagian orang yang menyebut dirinya Kristen, dalam usahanya untuk hidup Kristen secara murni, ada sebagian yang merasa bahwa mereka harus melawan apapun yang dianggap bertentangan dengan Iman Kristen, terutama dalam masalah adat-istiadat. Landasan keyakinan yang demikian itu dilandasi oleh sabda Sang Kristus yang demikian: "Mengapa murid-murid-Mu melanggar adat istiadat nenek moyang kita? Mereka tidak membasuh tangan sebelum makan." Tetapi jawab Yesus kepada mereka: "Mengapa kamu pun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu? Sebab Allah berfirman: Hormatilah ayahmu dan ibumu; dan lagi: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya pasti dihukum mati. Tetapi kamu berkata: Barangsiapa berkata kepada bapanya atau kepada ibunya: Apa yang ada padaku yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk persembahan kepada Allah, orang itu tidak wajib lagi menghormati bapanya atau ibunya. Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadatmu sendiri” (Matius 15: 2-6).
Sabda Sang Kristus ini sebenarnya ditujukan kepada orang-orang Farisi dan para Ahli Taurat (Matius 15:1) yang lebih menekankan pada pada “adat istiadat nenek moyang” (bahasa asli “adat-istiadat para tua-tua”), yaitu tafsiran dan ajaran dari “para tua-tua” yaitu para Rabbi (rohaniwan agama Yahudi) atas hukum-hukum dalam Taurat, dan yang tertulis dalam Kitab Suci mereka yang kedua “Talmud” disamping ”Tanakh” (Perjanjian Lama). Bukti bahwa apa yang dikritik Tuhan Yesus disini adalah masalah Talmud, adalah keluhan dari orang-orang Farisi dan para ahli Taurat itu yang mengecam para murid Sang Kristus yang “tidak membasuh tangan sebelum makan”, juga kecaman Sang Kristus atas ajaran mereka “kamu berkata: Barangsiapa berkata kepada bapanya atau kepada ibunya: Apa yang ada padaku yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk persembahan kepada Allah, orang itu tidak wajib lagi menghormati bapanya atau ibunya”.

Hal ini diperkuat lagi dengan pasal paralel dari Markus 7:1-13: ”Pada suatu kali serombongan orang Farisi dan beberapa ahli Taurat dari Yerusalem datang menemui Yesus. Mereka melihat, bahwa beberapa orang murid-Nya makan dengan tangan najis, yaitu dengan tangan yang tidak dibasuh. Sebab orang-orang Farisi seperti orang-orang Yahudi lainnya tidak makan kalau tidak melakukan pembasuhan tangan lebih dulu, karena mereka berpegang pada adat istiadat nenek moyang mereka; dan kalau pulang dari pasar mereka juga tidak makan kalau tidak lebih dahulu membersihkan dirinya. Banyak warisan lain lagi yang mereka pegang, umpamanya hal mencuci cawan, kendi dan perkakas-perkakas tembaga. Karena itu orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu bertanya kepada-Nya: "Mengapa murid-murid-Mu tidak hidup menurut adat istiadat nenek moyang kita, tetapi makan dengan tangan najis?" Jawab-Nya kepada mereka: "Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia." Yesus berkata pula kepada mereka: "Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat istiadatmu sendiri. Karena Musa telah berkata: Hormatilah ayahmu dan ibumu! dan: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya harus mati. Tetapi kamu berkata: Kalau seorang berkata kepada bapanya atau ibunya: Apa yang ada padaku, yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk korban -- yaitu persembahan kepada Allah --, maka kamu tidak membiarkannya lagi berbuat sesuatu pun untuk bapanya atau ibunya. Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadat yang kamu ikuti itu. Dan banyak hal lain seperti itu yang kamu lakukan.".
Dalam ayat-ayat ini Kitab Suci menjelaskan bahwa yang diikuti oleh orang-orang Farisi dan para ahli Taurat serta orang-orang Yahudi lainnya itu adalah “berpegang pada adat istiadat nenek moyang mereka”, “hidup menurut adat istiadat nenek moyang”, yang oleh Sang Kristus hal itu dikritik dengan menyatakan bahwa “ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia, serta bahwa mereka hanya “berpegang pada adat istiadat manusia atau “memelihara adat istiadatmu sendiri”, serta hanya merupakan “adat istiadat yang kamu ikuti” saja. Adat istiadat “nenek-moyang” atau “para tua-tua”, yaitu tafsiran para Rabbi Yahudi itu isinya diantaranya adalah mereka dilarang “makan dengan tangan najis, yaitu dengan tangan yang tidak dibasuh”, juga mereka “tidak makan kalau tidak melakukan pembasuhan tangan lebih dulu”, serta “kalau pulang dari pasar mereka juga tidak makan kalau tidak lebih dahulu membersihkan dirinya”, juga mereka memiliki aturan-aturan yang rinci dan menyulitkan masalah “mencuci cawan, kendi dan perkakas-perkakas tembaga “, serta “Banyak warisan lain lagi yang mereka pegang”.

Sebenarnya tafsiran masalah pembasuhan itu adalah perluasan dari apa yang dikatakan dalam Imamat 15 mengenai cara pentahiran bagi orang yang mengeluarkan lelehan. Jadi apa yang dikritik Tuhan Yesus dalam masalah adat-istiadat ini adalah aturan-aturan yang dibuat oleh para Ahli Taurat dan para Orang Farisi berdasarkan tafsiran para Rabbi Yahudi yang dikumpulkan dalam Kitab “Talmud”. Orang-orang Yahudi sampai sekarang menganggap Talmud itu sebagai diilhamkan Allah di Gunung Sinai bersamaan dengan diberikannya TORAH, dan sejajar dengan Kitab Perjanjian Lama (TANAKH)[1]. Dan mereka memahami Perjanjian Lama dari kacamata Talmud ini, sebagaimana orang Kristen memahami Perjanjian Lama dari kacamata Pribadi, Karya dan Ajaran Yesus Kristus dan dari kacamata Perjanjian Baru.

Jadi yang menjadi kritik Tuhan Yesus disini bukanlah masalah “adat-istiadat” budaya itu sendiri, namun adat-istiadat pentafsiran Kitab Perjanjian Lama dalam Talmud yang keliru dan yang bertentangan dengan “ruh/semangat dan makna” dari pengajaran Kitab Suci yang ditafsirkannya. Misalnya masalah pemeliharaan orang tua yang harus dilakukan oleh setiap anak yang sudah dewasa, sebagaimana yang disebut dalam Matius 15:4-6 dan Markus 7: 10-12, yang akhirnya dipelintir menjadi tidak perduli pada orang tua lagi, karena dananya dijadikan “korban/persembahan kepada Allah” sesuai yang diajarkan Talmud. Maka kita harus hati-hati dalam mentafsirkan Kitab Suci agar itu tidak berlawanan dengan “ruh/semangat dan makna” dari apa yang diajarkan oleh Kitab Suci, terutama dalam mentafsirkan boleh atau tidaknya, halal atau haramnya memakan darah.

Memang bagi kita orang Kristen kalau adat istiadat budaya yang secara terang-terangan bertentangan dengan ajaran Kitab Suci, misalnya: penyembahan nenek-moyang, penyembahan berhala, percaya pada pelebegu (Batak) atau pada perdukunan, jimat, mantra, sajen-sajen (Jawa) atau pada “opo-opo” (Manado), atau pada “swanggi” (Timor), atau menggunakan “hu “ dan “pat kwa” bagi melindungi rumah dari gangguan Setan dan menggunakan “ciamsi” bagi menanyakan nasib atau bertanya pada “suhu yang kerasukan dewa” serta percaya “hong sui/feng shui” untuk membawa “hokki” dan percaya pada ramalan berdasarkan “shio” untuk mengetahui apa yang akan terjadi (Tionghoa), serta percaya pada sihir, tenung, santet, dan lain-lain, itu dengan tegas harus disingkirkan dari kehidupan kita.

Namun tidak semua adat-istiadat budaya itu bertentangan dengan Kitab Suci. Itulah sebabnya kita harus memiliki hikmat dan pemahaman Kitab Suci yang mendalam dan benar bagi menentukan dalam terang ajaran dari Kitab Suci mana yang boleh dipertahankan dan mana yang harus ditinggalkan dalam adat-istiadat budaya kita itu. Karena dalam beberapa budaya Indonesia, terutama di tanah Batak, terdapat budaya memakan darah yang disebut “sangsang” (baca: sak-sang) yang merupakan “adat-istiadat Batak" [2], maka diantara orang-orang Kristen terutama yang bersuku-bangsa Batak ini, dengan melihat apa yang tertulis dalam Matius 15:2-6, dan Markus 7: 1-13 tanpa pemahaman yang mendalam, sebagian ada yang berusaha untuk menentang adat-istiadat itu terutama yang menyangkut “makan darah”. Karena terdapat ayat dalam Alkitab yang berbunyi: ”Sebab adalah keputusan Roh Kudus dan keputusan kami, supaya kepada kamu jangan ditanggungkan lebih banyak beban dari pada yang perlu ini: kamu harus menjauhkan diri dari makanan yang dipersembahkan kepada berhala, dari darah, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari percabulan. Jikalau kamu memelihara diri dari hal-hal ini, kamu berbuat baik. Sekianlah, selamat.” (Kisah Rasul 15:28-29). Dan ayat inipun dicomot begitu saja tanpa pemahaman yang mendalam pula, sebagai pembenaran untuk menyalahkan mereka yang makan “sangsang”, bahkan ada yang melangkah terlalu jauh yang bahkan Kitab Sucipun tak mengatakannya sampai mereka mengatakan bahwa orang yang makan darah akan “masuk Neraka”. Padahal ayat yang dikutip diatas tidak mengatakan apa-apa tentang “Neraka” atau “Sorga” , ataupun tentang “kebinasaan” atau “keselamatan”. Ayat itu hanya mengatakan kalau orang Kristen menjauhkan diri diantaranya “dari darah” yaitu dari “makan darah”, maka “kamu berbuat baik”, bukannya “kamu akan masuk sorga”, atau “kamu akan diselamatkan.”

Ayat-ayat ini adalah kutipan surat keputusan para Rasul sebagai hasil Konsili (Sidang Raya/Sinode Godang) Rasuliah di Yerusalem (Kisah Rasul 15:4,6) karena adanya gangguan di Gereja Antiokhia mengenai masalah harus atau tidaknya orang-orang Kristen non-Yahudi menjadi Yahudi dulu dengan jalan disunat, jika hendak menjadi Kristen (Kisah Rasul 15: 1-2). Jalan tengah yang diambil oleh para Rasul adalah apa yang diputuskan sebagaimana yang tertera dalam isi Surat Keputusan yang kita kutip diatas, yaitu bahwa bangsa-bangsa non-Yahudi tidak usah jadi Yahudi dulu dengan jalan disunat kalau mau jadi Kristen tetapi mereka harus menjaga perasaan umat Yahudi dengan jalan “harus menjauhkan diri dari makanan yang dipersembahkan kepada berhala, dari darah, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari percabulan.” Karena Agama Yahudi sangat menentang penyembahan berhala, padahal orang-orang non-Yahudi yang sekarang jadi Kristen itu pada umumnya adalah mantan penyembah berhala. Juga Perjanjian Lama melarang orang Yahudi makan darah (Imamat 17: 10, 12), padahal orang-orang non Yahudi dalam persembahan mereka kepada berhala melibatkan makanan yang bercampur darah. Disamping itu memakan daging binatang yang mati dicekik (Imamat 17:13), bukannya disembelih sehingga darahnya mengalir keluar, yang menjadi praktek dari banyak budaya non-Yahudi, berarti sama saja dengan makan darah, karena darah binatang itu tetap tersimpan dalam tubuhnya. Juga dalam praktek penyembahan berhala seperti itu biasanya melibatkan semburit bakti (Ulangan 23:18, Roma 1: 23-27) , perzinahan dan pelacuran bakti (Ulangan 23:17-18), sehingga mereka diperintahkan untuk menjauhkan diri dari perzinahan.

Dengan demikian jika orang-orang Kristen non-Yahudi ini melakukan semuanya ini maka mereka tidak menjadi sandungan bagi umat Kristen Yahudi, berarti mereka “berbuat baik” bagi diri mereka sendiri dalam hubungannya dengan umat Yahudi, maupun bagi keutuhan dan kesatuan Gereja. Namun ini tidak ada sangkut-pautnya dengan keselamatan apalagi kalau sampai kita menghakimi orang dengan ancaman “masuk Neraka”. Jika kita mentafsirkan Kitab Suci diluar apa yang Kitab Suci sendiri katakan adalah sama saja dengan kita membuat Talmud baru, dengan demikian kita jadi tidak berbeda dengan para tua-tua Yahudi, yaitu para Rabbi, yaitu orang-orang Farisi dan para Ahli Kitab yangh dikritik Tuhan Yesus itu.

Pemahaman Darah dan Korban dalam Alkitab
 
Ketika Adam jatuh kedalam dosa dengan melanggar perintah Allah untuk tidak memakan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat karena kematian yang akan ditimbulkannya jika melanggar (Kejadian 2:17), maka “TUHAN Allah mengusir dia dari taman Eden supaya ia mengusahakan tanah dari mana ia diambil. Ia menghalau manusia itu dan di sebelah timur taman Eden ditempatkan-Nyalah beberapa kerub dengan pedang yang bernyala-nyala dan menyambar-nyambar, untuk menjaga jalan ke pohon kehidupan.” (Kejadian 3:23-24). Akibat ketidak-taatannya pada perintah Allah, maka Adam dan Hawa terusir dan terhalau dari taman Eden, dengan demikian mereka terputus hubungan dengan Allah, serta bahwa oleh Allah “ditempatkan-Nyalah beberapa kerub …, untuk menjaga jalan ke pohon kehidupan “ sehingga jalan masuk kepada pohon kehidupan itu buntu, yang berarti Adam dan Hawa telah kehilangan hidup ilahi, yaitu kehilangan hidup kekal. Hilangnya hidup kekal pada manusia ini mengakibatkan kematian pada rohnya, dan kematian roh (Efesus 2:1) ini berakibat pada kematian tubuhnya (Kejadian 3:19). Jadi kematian masuk ke dalam dunia karena adanya dosa ini, sebagaimana dikatakan: ”…. dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga (masuknya) maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa.” (Roma 5:12), serta “Sebab upah dosa ialah maut” (Roma 6:23).

Padahal Allah “tidak berkenan kepada kematian seseorang yang harus ditanggungnya” (Yehezkiel 18:32), sehingga Allah mengatakan:” Apakah Aku berkenan kepada kematian orang fasik? demikianlah firman Tuhan ALLAH. Bukankah kepada pertobatannya supaya ia hidup?” (Yehezkiel 18:23). Sang Pencipta ini adalah “ Allah yang hidup” (Ibrani 10:31), dan Ia menciptakan manusia “menurut gambar dan rupa” Nya (Kejadian 1:26), berarti manusia memang diciptakan bukan untuk mati tetapi untuk hidup. Kematian adalah benalu yang menempel pada kodrat manusia sebagai akibat dosa. Itulah sebabnya Allah berkendak untuk mencongkel benalu itu, dengan janjiNya pada manusia bahwa Ia kan mengirim Juru Selamat, sebagaimana dikatakanNya kepada Iblis didepan Adam dan Hawa: ”Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu (keturunan Iblis adalah para musuh Kristus dari antara para pemimpin Agama Yahudi: Yohanes 8:44, Matius 3:7) dan keturunannya ( “keturunan perempuan” adalah seseorang yang dilahirkan tanpa benih pria, merujuk kepada kelahiran oleh Perawan: Yesus Kristus); keturunannya (Yesus Kristus putera Sang Perawan, keturunan perempuan) akan meremukkan kepalamu (Yesus Kristus mengalahkan Kuasa Iblis , Ibrani 2:14, I Yohanes 3:8) , dan engkau akan meremukkan tumitnya. (merujuk pada penyaliban dimana kaki Yesus dipaku yang digambarkan sebagai tumitNya diremukkan)" (Kejadian 3:15). Melalui penghancuran kuasa Iblis oleh penyaliban Putera Sang Perawan inilah, maka kematian dikalahkan, dan hidup kekal akan dipulihkan pada manusia.

Untuk memberi “tanda” atas Janji keselamatan melalui Korban Kristus inilah maka sebelum Adam diusir dan dihalau dari Taman Eden, Kitab Suci mengatakan: ”Dan TUHAN Allah membuat pakaian dari kulit binatang untuk manusia dan untuk isterinya itu, lalu mengenakannya kepada mereka.” (Kejadian 3:21). Sebelumnya Adam dan Hawa “menyemat daun pohon ara dan membuat cawat “ (Kejadian 3:7), tetapi Allah tak berkenan akan usaha manusia menutupi dirinya sendiri akibat dosa itu. Maka Allah sendiri menyediakan penutup bagi dampak dosa manusia itu, yaitu dengan Allah sendiri membuat “pakaian dari kulit binatang untuk manusia “. Jika ada “pakaian dari kulit binatang “ yang dibuat oleh Allah, berarti ada binatang yang dikorbankan oleh Allah, dengan demikian ada darah tercurah bagi manusia. Padahal Ibrani 9:22 mengatakan: ”Dan hampir segala sesuatu disucikan menurut hukum Taurat dengan darah, dan tanpa penumpahan darah tidak ada pengampunan.” Maka Adampun telah menerima pengampunan dari Allah, meskipun untuk dapat dipulihkan kembali kepada hidup kekal yang telah hilang itu dia harus menunggu sampai datangNya “Keturunan Perempuan” yang dijanjikan itu. Adam dan Hawa meskipun sudah menerima pengampunan, bersama para Nabi dan orang-orang benar dalam Perjanjian Lama lainnya itu: ”tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu… Sebab Allah telah menyediakan sesuatu yang lebih baik bagi kita; tanpa kita mereka tidak dapat sampai kepada kesempurnaan.” (Ibrani 11: 39-40), artinya Adam dan Hawa harus menunggu sampai datangNya Kristus bersama kita yang percaya untuk mendapatkan kembali hidup kekalnya yang telah hilang itu.

Demikianlah sejak zaman Adam itu “darah korban” telah menjadi tanda akan Janji Allah bagi kedatangan Sang “Keturunan Perempuan” yang “diremuk tumitNya” oleh Iblis bagi mengalahkan kuasa Iblis itu sendiri, dimana hidup kekal dipulihkan bagi manusia. Itulah sebabnya ketika “Kain mempersembahkan sebagian dari hasil tanah itu kepada TUHAN sebagai korban persembahan “ (Kejadian 4:3), Kitab Suci mengatakan “tetapi Kain dan korban persembahannya tidak di-indahkan-Nya “ (Kejadian 4:5). Ini dikarenakan korban Kain tak mengandung darah yang tercurah.

Sedangkan ketika “Habel juga mempersembahkan korban persembahan dari anak sulung kambing dombanya, yakni lemak-lemaknya; maka TUHAN mengindahkan Habel dan korban persembahannya itu” (Kejadian 4), karena korban Habel mengandung “darah yang tercurah” sesuai dengan apa yang ditunjukkan Allah kepada Adam. Demikianlah untuk seterusnya korban yang berkenan kepada Allah di dalam Perjanjian Lama itu menyangkut korban binatang dengan tercurahnya darah. Terutama setelah pada zaman Musa dengan didirikannya Kemah Suci (Tabernakel), korban-korban itu makin rinci aturannya (Imamat 1-7). Mengapa darah Kristus yang akan tercurah yang sebelum kedatanganNya itu ditandai dengan korban-korban binatang itu begitu penting? Apa pula hubungannya dengan pemulihan hidup kekal?

Imamat 17: 10-14 mengatakan demikian:
"Setiap orang dari bangsa Israel dan dari orang asing yang tinggal di tengah-tengah mereka, yang makan darah apa pun juga Aku sendiri akan menentang dia dan melenyapkan dia dari tengah-tengah bangsanya. Karena nyawa makhluk ada di dalam darahnya dan Aku telah memberikan darah itu kepadamu di atas mezbah untuk mengadakan pendamaian bagi nyawamu, karena darah mengadakan pendamaian dengan perantaraan nyawa. Itulah sebabnya Aku berfirman kepada orang Israel: Seorang pun di antaramu janganlah makan darah. Demikian juga orang asing yang tinggal di tengah-tengahmu tidak boleh makan darah. Setiap orang dari orang Israel dan dari orang asing yang tinggal di tengah-tengahmu, yang menangkap dalam perburuan seekor binatang atau burung yang boleh dimakan, haruslah mencurahkan darahnya, lalu menimbunnya dengan tanah. Karena darah itulah nyawa segala makhluk. Sebab itu Aku telah berfirman kepada orang Israel: Darah makhluk apa pun janganlah kamu makan, karena darah itulah nyawa segala makhluk: setiap orang yang memakannya haruslah dilenyapkan “

Ayat-ayat diatas itu menunjukkan larangan Allah yang amat keras bagi “bangsa Israel” dan bagi “orang asing yang tinggal di tengah-tengah mereka ”, untuk “makan darah apa pun” dengan diberi ancaman bahwa Allah “sendiri akan menentang dia dan melenyapkan dia dari tengah-tengah bangsanya“. Ada tiga alasan mengapa larangan makan darah bagi Israel dan mereka yang tinggal di tengah-tengah Israel begitu kerasnya. Alasan :
1) Karena nyawa makhluk ada di dalam darahnya
2) Aku telah memberikan darah itu kepadamu di atas mezbah untuk mengadakan pendamaian bagi nyawamu
3) darah mengadakan pendamaian dengan perantaraan nyawa

Berdasarkan keterangan dari ayat-ayat ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa kehidupan atau nyawa makhluk secara jasmani itu terdapat dalam darahnya, karena barangsiapa kehilangan darah pasti dia mati. Dengan demikian darah adalah mewujudkan nyawa atau kehidupan itu sendiri. Ketika Adam dan semua manusia yang lain berdosa, saat itu pula mereka terputus dari sumber kehidupan yaitu Allah, sehingga mereka menerima kematian sebagai upahnya atau hukumannya. Namun Allah adalah Allah yang tidak menghendaki kematian manusia sebagai akibat dosa. Sehingga Allah “telah memberikan darah itu kepadamu di atas mezbah untuk mengadakan pendamaian bagi nyawamu”. Nyawa manusia itu yang seharusnya dihabisi atau dilenyapkan karena dosanya, sehingga manusia itu harus mati. Namun karena Allah tak berkehendak akan kematian manusia, dan dalam kasihNya tak hendak menghukum manusia yang bertobat, maka Dia membuat jalan pendamaian. Jalan pendamaian itu adalah manusia yang bertoibat itu membawa korban kepada Allah, lalu mengakui dosa-dosanya dihadapan Allah, sambil menumpangkan tangannya pada binatang korban. Secara simbolis maka binatang korban itu yang memikul dosa-dosa manusia, dan secara simbolis manusia mengidentikkan kehidupannya yang berdosa dengan binatang korban. Maka ketika binatang korban itu disembelih “diatas mezbah”, berarti diri manusia yang berdosa itu dihukum mati, dan nyawa manusia yang berdosa itu mengalami kematian secara simbolis. Sehingga manusia yang berdosa tadi tak menerima kematian, tetapi menerima kehidupan, tak menerima penghukuman tetapi menerima pendamaian, karena sekarang dirinya diterima Allah kembali. Demikianlah darah atau kehidupam atau nyawa dari binatang korban itu “mengadakan pendamaian bagi nyawamu”. Karena darah itulah kehidupan si binatang itu, maka darah adalah nyawa si binatang korban itu. Dengan dicurahkannya darah binatang atas nama si manusia bertobat tadi, maka “nyawa” binatang sebagai simbol nyawa si manusia bertobat itu, “mengadakan pendamaian perantaraan nyawa”. Jadi darah binatang itu menjadi pemulih kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah. Allah mengadakan pendamaian kepada manusia melalui darah binatang korban. Oleh karena itu darah binatang itu tempatnya bukan diatas piring untuk dimakan, namun di atas mezbah untuk mengadakan pendamaian, Dengan demikian secara eksklusif darah binatang itu haknya Allah, dan sarana Allah untuk memulihkan hubungan manusia dengan DiriNya. Itulah sebabnya adalah suatu hujat dan penghinaaan luar biasa jika pada zaman itu manusia meremehkan cara pendamaian Allah bagi manusia ini, dengan menjadikannya makan biasa. Karena itulah hujat, peremehan, dan penghinaan manusia yang demikian itu diberi ancaman keras dengan mengatakan: ”Darah makhluk apa pun janganlah kamu makan, karena darah itulah nyawa segala makhluk: setiap orang yang memakannya haruslah dilenyapkan“, juga bagi mereka yang makan darah apapun dikatakan” Aku sendiri akan menentang dia dan melenyapkan dia dari tengah-tengah bangsanya.
Namun demikian setelah Kristus datang, Kitab Suci mengatakan bahwa “… Anak Manusia ….. memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (Markus 10:45). Karena itu “Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya” (II Korintus 5:18), sebab Kristus adalah “Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia” (Yohanes 1:29), dan “anak domba Paskah kita juga telah disembelih, yaitu Kristus” (I Korintus 5:7). Jadi sekarang bukan lagi darah kambing atau darah domba yang membuat pendamaian kita dengan Allah, namun “Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya” (Roma 3:25), sehingga “darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa.” (I Yohanes 1:7). Ini disebabkan “…tidak mungkin darah lembu jantan atau darah domba jantan menghapuskan dosa” (Ibrani 10:4), sebab dari awal ketika Allah mencurahkan darah binatang bagi Adam, itupun hanya sebagai tanda akan JanjiNya mengenai kedatangan Sang Juru Selamat. Jadi ketika Juru Selamat itu sudah datang, maka bukan lagi darah bintang yang diperlukan, namun Darah Sang Juru Selamat itu sendiri yang tercurah bagi kita, bagi pendamaian dan penebusan serta keselamatan kita, sehingga kita mendapatkan hidup kebangkitanNya, yaitu hidup kekal. Hal ini dikatakan “darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.” (Matius 26:28).

Jadi kita tak perlu lagi “darah……di atas mezbah untuk mengadakan pendamaian bagi nyawamu” sebagaimana yang dikatakan dalam Perjanjian Lama. Dengan itu pula maka sudah habis masa berlakunya perintah “yang makan darah apa pun juga Aku sendiri akan menentang dia dan melenyapkan dia dari tengah-tengah bangsanya”, serta “Seorang pun di antaramu janganlah makan darah. Demikian juga orang asing yang tinggal di tengah-tengahmu tidak boleh makan darah”, dan “Darah makhluk apa pun janganlah kamu makan”. Sebab larangan-larangan ini terkait dengan tujuan penggunaan darah diatas mezbah bagi pendamaian nyawa manusia di zaman Perjanjian Lama. Sedangkan kita sekarang tidak didamaikan oleh darah binatang diatas mezbah, namun oleh Darah Anak Domba Allah diatas Kayu Salib.

Hal yang Menajiskan dan Membuat kita Tak Masuk kedalam Kerajaan Sorga

Dengan memahami makna larangan makan darah dalam hubungannya dengan darah sebagai alat pendamaian di atas mezbah di zaman Perjanjian Lama, dimana hal itu sudah digenapi di dalam pencurahan darah Yesus Kristus, sehingga larangan itu sudah tak berlaku lagi, maka adalah merupakan hal yang diluar “ruh/semangat dan makna” ajaran Alkitab orang yang mengajarkan bahwa orang yang makan darah akan masuk Neraka. Tak ada satu ayatpun dalam Alkitab yang mengatakan demikian. Jika benar karena makan darah binatang orang bisa masuk Neraka, maka berarti Darah Yesus yang menebus kita itu kalah dengan darah binatang, dan ini adalah hujat terhadap kasih-karunia Allah. Tak ada satu hukum ritual apapun yang dapat membuat kita masuk Neraka. Menurut Alkitab yang membuat kita masuk Neraka adalah sikap moral kita bukan upacara-upacara lahiriah seperti tidak makan ini atau tidak makan itu.

Dikatakan oleh Sang Kristus Yesus sendiri demikian: ”Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskannya, karena bukan masuk ke dalam hati tetapi ke dalam perutnya, lalu dibuang di jamban?" Dengan demikian Ia menyatakan semua makanan halal ….sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang.” (Markus 7:21-23). Jadi menurut Sang Kristus tidak ada satu makananpun yang menajiskan orang, semuanya halal. Yang menajiskan itu justru semua kejahatan yang keluar dari dalam hati.
Bukan itu saja, semua pikiran jahat yang keluar dari hati, bahkan menjerumuskan orang ke dalam Neraka, kalau dia tidak bertobat, sebagaimana dikatakan: ”Perbuatan daging telah nyata, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah,kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya. Terhadap semuanya itu kuperingatkan kamu -- seperti yang telah kubuat dahulu -- bahwa barangsiapa melakukan hal-hal yang demikian, ia tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.” (Galatia 5: 19- 21). Ditambah lagi: ”Atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? Janganlah sesat! Orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci [3], orang pemburit [4], pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.” (I Korintus 6:-10)

Jadi menurut Alkitab justru sikap moral yang jahat akibat ketiadaan pertobatan dan ketiadaan pembaharuan rohani dalam hidup seseorang sehingga mereka tak beriman kepada Kristus dan dengan demikian darah Kristus tak bermanfaat bagi mereka, inilah yang membuat orang “tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.” Namun tak ada satupun ayat Kitab Suci yang mengatakan bahwa orang yang makan darah itu akan masuk Neraka atau tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. Memang lebih mudah untuk menghentikan sikap luar secara ritual misalnya tidak merokok [5], tidak makan darah [6], tidak pakai lipstik dan lain-lain, daripada mengadakan pembaharuan batin secara total, yaitu pertobatan, misalnya menghentikan kesombongan, iri hati, kecongkakan, kikir dan lain-lain. Namun kesalehan lahiriah semacam itu tak bermakna apapun jika tak disertai dengan pembaharuan batin dalam sikap pertobatan yang terus-menerus. Padahal justru inilah yang menetukan diterima atau tidaknya seseorang di dalam Kerajaan Allah.

Makna Kisah Rasul 15
Sekarang sampailah kita kepada pembahasan ayat yang menjadi landasan bagi diajarkannya larangan makan darah,m dengan ancaman masuk neraka, oleh sebagian orang Kristen itu. Ayat itu terdapat dalam Kisah Rasul 15:1-21, terutama dalam Kisah 15:20.
Konteks Kisah 15:20 dalam keseluruhan perikop Kisah 15 itu adalah demikian:
Di kota Antiokhia –Syria kedatangan tamu orang-orang Kristen Yahudi dari Yudea, Yerusalem. Mereka mengajarkan:  "Jikalau kamu tidak disunat menurut adat istiadat yang diwariskan oleh Musa, kamu tidak dapat diselamatkan." (Kisah 15:1). Jadi permasalah pokok adalah, yang menyelamatkan itu ”Hukum Musa” yang disini diwakili oleh perintah untuk Sunat, ataukah Kematian dan Kebangkitan Yesus Kristus yang memberikan penebusan? Karena itu ajaran ini dilawan oleh Paulus dan Barnabas (Kisah Rasul 15:2). Jadi konteks permasalahan dalam Kisah Rasul ini justru bukan masalah “makan darah”, namun masalah Sunat, yaitu kontras antara Taurat dan Rahmat. Namun karena masalah ajaran Iman itu bukan terserah kepada kehendak perorangan, tetapi milik seluruh Gereja secara bersama, maka pemecahannyapun harus dilakukan secara bersama melalui Sidang Gereja atau Konsili. Sehingga Paulus dan Barnabas diutus oleh Gereja Antiokhia untuk menemui para Rasul dan para Penatua (para Presbyter) membahas masalah itu. (Kisah 15: 3-4). Di Yerusalem mereka bertemu orang-orang yang mempunyai theologia yang sama dengan mereka yang mengganggu orang Kristen di Antiokhia. Mereka ini adalah “golongan Farisi, yang telah menjadi percaya” (Kisah Rasul 15:5), yang mengajarkan : "Orang-orang bukan Yahudi harus disunat dan diwajibkan untuk menuruti hukum Musa.”. Sekali lagi konteks Kisah Rasul 15 ini bukanlah mengenai masalah “makan darah”, namun mengenai perlu atau tidaknya Sunat.

Lalu diadakanlah Sidang para Rasul dan para Penatua (Kisah Rasul 15:6), serta diadakan “tukar pikiran “ yang lama sekali (Kisah 15:7). Lalu Petrus sebagai ketua kolega para Rasul memberi kesaksian, bagaimana Kornelius tanpa disunat percaya kepada Kristus dan menerima Roh Kudus (Kisah Rasul 15:7-11). Kemudian disusul oleh Paulus dan Barnabas memberi kesaksian bagaimana bangsa-bangsa bukan Yahudi percaya tanpa harus disunat dengahn disertai mukjizat-mukjizat (Kisah Rasul 15:212), Kemudian disimpulkan oleh Yakobus sebagai Episkop (Uskup) pertama dari Gereja Yerusalem bahwa memang bangsa-bangsa lain tak perlu disunat, tetapi untuk menjembatani jurang pemisah antara mereka dengan umat Yahudi, maka Sidang itu harus menulis surat kepada mereka dengan memberi tahu mereka supaya mereka “menjauhkan diri dari makanan yang telah dicemarkan berhala-berhala, dari percabulan, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari darah.” (Kisah Rasul 15:20), serta “kamu harus menjauhkan diri dari makanan yang dipersembahkan kepada berhala, dari darah, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari percabulan. Jikalau kamu memelihara diri dari hal-hal ini, kamu berbuat baik. Sekianlah, selamat.” (Kisah Rasul 15:29). Jadi jelas menurut konteksnya larangan “makan darah” itu bahkan bukan tema utama dari Sidang para Rasul itu. Itu hanya merupakan jalan pemecahan dari masalah utama yang menjadi ketegangan antara orang Kristen Yahudi –dimana mereka mengizinkan orang non-Yahudi untuk tidak disunat--, dan orang Kristen non-Yahudi –yang sebaliknya diminta untuk memberikan timbal balik atas kerelaan Yahudi ini dengan kerelaan melakukan hal-hal yang menjadi masalah bagi orang Yahudi, diantaranya adalah “makan darah”. Jadi larangan “makan darah” itu bukan inti pembahasan Sidang Para Rasul, dan bukan pula pesan utama Kisah Rasul 15 ini. Bahkan itupun bukan disebutkan yang pertama dalam daftar jalan tengah yang harus diambil orang-orang Kristen non-Yahudi ini. Yang didaftar pertama justru “menjauhkan diri dari makanan yang dipersembahkan kepada berhala”, malah pada saat rapat, Yakobus menyebutnya dalam dafatar paling akhir. Dengan demikian makna penting dari Sidang ini bukanlah masalah makan darah itu, tetapi masalah hubungan Sunat dan Iman, Taurat dan Rahmat.

“Ruh/Semangat dan Makna” dari Kisah Rasul 15 ini bukanlah tentang makanan, dan bukanlah masalah boleh tidaknya darah dimakan, namun masalah bagaimana orang-orang Kristen non-Yahudi itu bisa diterima oleh orang-orang Kristen non-Yahudi tanpa memaksakan adat-istiadat Yahudi kepada mereka. Jika kita mengerti “ruh” dari Kisah Rasul 15 maka tak mungkin kita memberi tekanan mengenai apa yang tak ditekankan oleh Kitab Suci itu. Kita tak bisa membuat Talmud kita sendiri sehingga bertentangan dengan tujuan dan makna dari pasal yang kita bahas ini. Kisah Rasul 15 sama sekali tidak mengatakan bahwa semua orang Kristen tidak boleh makan darah, dan yang makan darah masuk Neraka, tetapi itu adalah menjelaskan tentang jalan pemecahan bagi permasalahan yang muncul dalam Gereja Antiokhia, Sejauh Kitab Kisah Rasul 15 ini yang kita baca, baik secara terang-terangan maupun secara tersembunyi tak ada ajaran yang menekankan masalah makanan, atau yang menekankan bahwa yang makan darah masuk Neraka seperti itu. Tafsiran yang demikian adalah mengada-ada, tak ditunjang oleh pasal yang ada, serta bukan merupakan inti dan isi utama darai pasal yang bersangkutan.

Ajaran Kitab Suci tentang Makanan

Dalam Imamat 11 dan Ulangan 14:1-21 bangsa Israel diberi aturan oleh Allah melalui Nabi Musa mengenai makanan yang “kosher” (halal) dan yang “trefah”  (haram). Terutama dalam Imamat 11, perintah ini diberikan sebagai bentuk pengudusan bangsa Israel supaya tidak terjadi interaksi sosial dengan bangsa-bangsa penyembah berhala yang ada disekitar mereka, sehingga mereka tidak terkontaminasi. Karena bangsa Israel adalah bangsa pilihan yang melalui mereka Mesias akan datang. Sehingga Israel dikurung dan dikawal oleh perintah ini sampai Kristus datang, sebagaimana dikatakan: ”Sebelum iman itu datang kita berada di bawah pengawalan hukum Taurat, dan dikurung sampai iman itu telah dinyatakan. Jadi hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus datang, supaya kita dibenarkan karena iman. Sekarang iman itu telah datang, karena itu kita tidak berada lagi di bawah pengawasan penuntun” (Galatia 3:23-25).
Karena kita orang Kristen bukan bangsa Israel yang hidup dalam “pengawalan hukum Taurat,” serta “kita tidak berada lagi di bawah pengawasan penuntun” dan tidak “dikurung”, karena Iman itu telah datang, maka kita tak lagi dibawah aturan “kosher” dan “trefah” mengenai masalah makanan itu. Bahkan Kitab Suci mengatakan bahwa “Dengan demikian Ia (Yesus Kristus) menyatakan semua makanan halal.” (Markus 7:19). Sebab Yesus Kristus datang untuk menyatakan Kerajaan Allah, dimana “Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus.” (Roma 14:17). Oleh karena itu kita diingatkan agar kita tak membuat sandungan bagi orang lain masalah makanan, sebagaimana dikatakan: "Makanan tidak membawa kita lebih dekat kepada Allah. Kita tidak rugi apa-apa, kalau tidak kita makan dan kita tidak untung apa-apa, kalau kita makan." Tetapi jagalah, supaya kebebasanmu ini jangan menjadi batu sandungan bagi mereka yang lemah.” (I Korintus 8:8-9). Karena pada dirinya sendiri tidak ada makan itu yang najis: ”Aku tahu dan yakin dalam Tuhan Yesus, bahwa tidak ada sesuatu yang najis dari dirinya sendiri. Hanya bagi orang yang beranggapan, bahwa sesuatu adalah najis, bagi orang itulah sesuatu itu najis.” (Roma 14:14). Juga dikatakan: ”Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apa pun.” (I Korintus 6:12). Dengan demikian prinsip Injil dalam hal makanan adalah bahwa sebenarnya tak ada sesuatu yang najis pada dirinya sendiri, dan bahwa semua makanan itu halal. Namun dalam kita makan kita diperintahkan untuk memikirkan hati nurani orang lain, apakah orang itu tersandung kalau kita makan atau tidak, Apakah orang itu akan murtad karena sikap kita yang tidak peka dalam makanan dan dalam memakan atau tidak. Juga apakah makanan itu berguna untuk kita atau tidak. Jikalau tak berguna karena mengganggu kesehatan, karena tidak memberi manfaat, atau karena kita menjadi kecanduan secara tidak sehat, maka kita harus menjauhi makan semacam itu. Jadi Injil tak mengajarkan kita hukum positif tentang apa yang harus kita makan, dan bagaimana cara kita makan, namun memberi prinsip berguna tidaknya makanan itu, membawa berkat atau tidaknya bagi orang lain, apa yang kita makan itu, serta hati-nurani orang lain yang menjadi tolok ukur dalam kita memakan.

Karena itulah membuat makan darah sebagai ancaman masuk Neraka itu justru bukan semangat Injil yang diberitakan. Memang hukum Kanon Gereja Orthodox melarang orang makan darah, tetapi alasannya bukan karena darah itu najis atau “haram”, dan juga bukan karena itu membuat orang masuk neraka, namun karena itu sebagai penghormatan dan ketaatan kepada suara Roh Kudus melalui para Rasul (Kisah 15:28-29) yang pada zaman purba telah menggunakan perintah tadi sebagai sarana persatuan Gereja Yahudi dan non-Yahudi. Dan itu juga sebagai pernghormatan kepada simbol dari darah Yesus Kristus sendiri yang melaluinya keselamatan itu datang, tidak lebih dan tidak kurang. Amin.

[1]  “TANAKH” adalah sebutan bagi Perjanjian Lama dikalangan Yahudi. Karena mereka tidak percaya pada Perjanjian Baru, karena mereka tidak percaya bahwa Yesus itu adalah Ha-Massiah, Messias, atau Al-Masih Sang Penyelamat, maka Kitab mereka tidak disebut sebagai Perjanjian Lama tetapi sebagai “TANAKH”. Dan kata ini berasal dari singkatan: TA=TORAH/Taurat yaitu Kelima Kitab Musa, NA=NEBIIM/Nabi-Nabi yaitu Kitab para Nabi misalnya Yesaya , Yeremia dan sebagainya, KH=KHETUBIM/Tulisan-Tulisan, yaitu Kitab-Kitab puisi dalam Alkitab misalnya Ayub, Mazmur, Amsal, Pengkhotbah, dan Kitab-Kitab Sejarah, misalnya Raja-Raja. Bandingkan dengan Sabda Sang Kristus yang menyebut “Kitab Suci” (Lukas 24 :45), sebagai terdiri dari “kitab Taurat Musa dan kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur” (Lukas 24:44),  juga yang mengatakan bahwa “seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi” (Lukas 24:27)
[2] Makan darah ini mempunyai variasi dalam beberapa budaya Indonesia, di Bali orang mengenal “lawar” yaitu darah babi yang dimasak dan dicampur dengan sayur, di Jawa Tengah orang mengenal “saren” yaitu darah lembu / darah kambing / darah ayam yang dibekukan dan kemudian digoreng seperti tahu/tempe atau dimasak dengan bahan makanan lainnya. Apa yang disebut “saren” ini di Jawa Timur disebut sebagai “dhedheh” atau “dhidheh”. Di Korea juga orang mengenal hal yang sama, yang disebut sebagai “yuk gye jang”.
[3] Bahasa asli dari kata “banci” ini adalah “malakoi” --orang yang lemah-gemulai, orang yang lembut--, ini menunjuk kepada laki-laki pelaku “semburit bakti” yang ada di kuil-kuil berhala (Ulangan 23:17-18) yang menjual dirinya untuk dipakai dalam upacara agama penyembahan berhala itu.
[4] Bahasa asli dari kata “pemburit” ini adalah “arsenokoitai” ( arsen = laki-laki, koitai = seketiduran), yang menunjuk pada pelanggan kaum “semburit bakti” yang ada dalam kuil berhala yang dilarang dalam Ulangan 23:17-18 itu.
[5] Penulis sendiri juga tidak merokok dan menganjurkan agar orang-orang Kristen juga tidak merokok.
[6] Penulis sendiri juga tidak suka makan darah. Namun dasarnya bukan karena takut masuk Neraka kalau makan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar